MENGANALISIS
KASUS DI DUNIA PENDIDIKAN
UJIAN
TENGAH SEMESTER
Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sosiologi
Pendidikan
Yang
dibina oleh Datu Jatmiko,
S.Pd. M.A.
Disusun
Oleh:
Nama :
Risma Nur Izzati
Kelas : PGMI-2A
NIM : 17205153002
JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
TULUNGAGUNG
April 2016
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
TULUNGAGUNG
April 2016
A.
Kasus
1.302 Anak di Sampang Putus Sekolah
Sejumlah siswa berbaris sebelum mengikuti upacara Senin
(27/7/2015).
Liputan6.com, Sampang – Berdasarkan
data Dinas Pendidikan Sampang, hingga 2015 tercatat 1.302 anak di kabupaten Sampang,
Madura, Jawa Timur putus sekolah.
“Jumlah angka putus sekolah ini dari berbagai tingkatan
pendidikan, mulai dari tingkat SD hingga SMA dan yang sederajat”, kata Kabid
Kurikulum Dinas Pendidikan Sampang Arief Budiansor di Sampang, Kamis
(10/12/2015) seperti dilansir Antara.
Menurut dia, mayoritas anak putus sekolah berasal dari
tingkat Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Tercatat sebanyak 657 siswa putus
sekolah pada tingkat itu.
Sementara pada tingkat SMP/MTs ada
500 siswa yang tidak dapat melanjutkan sekolah, sisanya ada di tingkat SMA/SMK
dan MA sebanyak 145 siswa.
Dia menjelaskan sebagian besar anak putus sekolah bukan
karena biaya pendikan yang mahal.
Ada faktor lain yang lebih menonjol di kabupaten ini,
seperti menikah usia dini. Ada pula yang memilih untuk merantau. Mereka
mengikuti orangtuanya di luar Madura, seperti Kalimantan, Jakarta atau ke
Surabaya. Bahkan ada yang ikut orang tuanya bekerja di luar negeri sebagai
Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Umumnya siswa putus sekolah itu Berasal dari wilayah
pedesaan dan lembaga pendidikan yang ada di bawah naungan yayasan atau
pesantren. “Kalau di wilayah kota, hampir tidak ada anak putus sekolah.
Kalaupun ada, karena faktor ekonomi. Tapi itu dulu, sekarang kan sudah ada
Bantuan Operasional Sekolah”, ujar Budiansor.
Untuk menekan banyaknya pelajar yang putus sekolah,
Disdik Sampang berupaya mendirikan sekolah unit baru di masing-masing
kecamatan. Pemkab juga mengaktifkan program pendidikan kejar paket.
Selain itu, Disdik terus memberikan pemahaman kepada
orang tua siswa akan pentingnya menuntaskan pendidikan. Ini merupakan bekal
hidup setelah bermasyarakat.
Berdasarkan data BPS pada 2013, rata-rata nasional angka
putus sekolah usia 7-12 tahun mencapai 0,67 persen atau 182.773 anak; usia
13-15 tahun sebanyak 2,21 persen atau 209.976 anak; dan usia 16-18 tahun
mencapai 3,14 persen atau 2223.676 anak.
Provinsi Jawa Timur tercatat sebagai provinsi dengan anak
putus sekolah terbanyak, yakni mencapai 35.546 anak. Sedangkan Kabupaten/kota
terbanyak anak putus sekolah ialah di Kabupaten Sampang.
B. Analisis
Putus
sekolah menjadi masalah krusial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di Indonesia khususnya, Putus
sekolah telah
masuk ke dalam seluruh ranah masyarakat bahkan telah menjadi fenomena
tersendiri, dan hal tersebutpun
terjadi dengan
latar belakang motif yang beragam. Tingginya angka putus sekolah membawa dampak yang sangat besar dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Tanpa kita sadari, anak yang putus sekolah dapat
menimbulkan keresahan sosial, ekonomi, dan moral di masa depan. Oleh karena itu
kasus putus sekolah ini membutuhkan perhatian yang serius dari berbagai pihak.
Dari sekian banyak faktor
penyebab anak-anak putus sekolah diatas, yakni: faktor ekonomi, faktor
pernikahan dini, serta faktor kurangnya pemahaman orang tua akan pentingnya
pendidikan sehingga mereka lebih mementingkan anaknya untuk bekerja. Menurut
pendapat saya faktor kesadaran orang tualah disini yang menjadi faktor vital
penyebab berhentinya anak dari sekolah. Karena disisi lain merekalah yang
menentukan iya tidaknya sang anak mengenyam pendidikan atau tidak. Sebab dapat
dikatakan walaupun secara ekonomi pada dasarnya mereka (orang tua) tergolong
tidak mampu , tapi jika mereka mempunyai keyakinan yang kuat akan pendidikan
bagi anaknya, pasti sebagai orang tua dengan berbagai cara mereka akan giat
berusaha untuk mencari uang agar anaknya bisa mendapatkan pendidikan, sebab di
dalam diri mereka terdapat secercah harapan akan keyakinan bahwa pendidikan
bisa mengubah nasib mereka. Dan sebaliknya meski secara finansial orang tua
tergolong mampu tetapi jika mereka tidak mempunyai keyakinan atau pemahaman
yang kuat akan pentingnya pendidikan, ya contohnya seperti fenomena sekarang
ini, mereka tidak menomorsatukan pendidikan bagi buah hatinya, bagi mereka
uanglah yang menentukan tingkat keberhasilan anaknya, bukan pendidikan.
Analisis ini bersandar
pada pernyataan para ahli sosiologi pendidikan yang menyatakan bahwa proses
sosialisasi yang pertama dan utama itu terjadi di lingkungan keluarga. Conny R.
Semiawan di dalam bukunya menuliskan “Lingkungan keluarga merupakan media
pertama dan utama yang secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap
perilaku dan perkembangan peserta didik”. Di dalam keluarga anak belajar
melakukan interaksi sosial yang pertama serta mulai mengenal tentang perilaku
yang diperankan oleh orang lain di lingkungannya. Dengan kata lain, pengenalan
tentang nilai-nilai budaya atau masyarakat atau nilai apapun itu termasuk nilai
tentang keyakinan akan pentingnya pendidikan pertama kali ditanamkan juga di
dalam keluarga. Penanaman tersebut akan menuai banyak pengaruh pada pemikiran
seorang anak, anak yang ditanamkan mengenai pentingnya pendidikan dengan kuat,
kelak jika dewasa dia akan berjuang sekuat tenaga untuk memperoleh pendidikan
yang diinginkannya walaupun disisi lain orang tuanya melarang. Dengan keyakinan
yang sudah tertanam didalamnya ia justru akan bisa meyakinkan orang tuanya
mengenai pentingnya pendidikan tersebut.
Mengingat pendidikan
merupakan sesuatu yang paling penting bagi pertumbuhan dan perkembangan pribadi
anak. Untuk itu, peran dari keluarga sangat dibutuhkan sebagai salah satu
penentu keberhasilan perkembangan dan penyelenggaraan pendidikan anak. Bens
juga menyatakan “when families are
involved, children benefit by having a more positive attitude toward learning,
better attendance, fewer placements in special education, better grades and
increased likelihood of graduating from high school and going to work or
continuing their education”. Dari apa yang dikemukakan oleh Bens tersebut,
dapat diketahui pentingnya keterlibatan orang tua pada pendidikan anak. Dengan
dukungan orang tua, anak akan memiliki sikap yang positif terhadap pendidikan.
Dalam proses pendidikan anak, perhatian dan dukungan orang tua merupakan faktor
yang sangat besar pengaruhnya terhadap kesuksesan anak dalam menempuh
pendidikannya.
Tak hanya keluarga,
ternyata lingkungan masyarakat juga merupakan agen sosialisasi primer. Coba
bayangkan kita hidup di dunia ini tidak bisa lepas dari yang namanya
masyarakat, kita hidup di tengah-tengah masyarakat, semua yang kita perbuat
yang menilai adalah masyarakat, dan kita terjun kelak juga kedalam masyarakat.
Oleh sebab itu kondisi masyarakat dimana kita idup dapat membawa dampak yang
begitu besar kepada diri seseorang. Kalau keadaan masyarakatnya baik, akan
dapat membawa kita ke jalan yang baik. Kalau keadaan masyarakatnya buruk
kemungkinan besar akan membawa kita ke jalan yang buruk juga. Oleh sebab itu
ini semua tergantung pada diri masing-masing individu akankah kita terus
terbelenggu kedalam pengaruh buruk tersebut atau tidak. Karena sangat sulit
untuk menilai apakah yang tertanam didalam lingkungan masyarakat dimana kita
tumbuh selama ini itu baik atau buruk, jika kita tidak dibekali dengan pendidikan
yang lain semisal pendidikan formal yang mengajarkan apa yang tidak diajarkan
di lingkungan sosial ataupun lingkungan keluarga. Ya contohnya seperti putus
sekolah tadi, di pedesaan itu bukanlah dinilai sebagai hal yang buruk sebab ya
selama ini memang hal itu yang berkembang atau cenderung ditanamkan oleh
kelompok masyarakatnya. Tapi hal itu berbeda jika di masyarakat perkotaan,
putus sekolah akan dinilai sebagai hal yang buruk sebab di dalam masyarakat
perkotaan mengenyam pendidikan itu dipandang sebagai suatu hal yang penting.
Hal tersebut didukung dengan teori
struktural fungsional yang dikemukakan oleh Talcott Parsons, meliputi:
a.
Adaptation yang berarti sistem sosial (masyarakat) selalu berubah untuk menyesuaikan
diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi, baik secara internal ataupun
eksternal.
b.
Goal Attainment yang berarti setiap sistem sosial (masyarakat) selalu ditemui
tujuan-tujuan bersama yang ingin dicapai oleh sistem sosial tersebut.
c.
Integration yang berarti setiap sistem sosial selalu terintegrasi dan cenderung
bertahan pada equilibrium
(keseimbangan). Kecenderungan ini dipertahankan memalui kemampuan bertahan
hidup demi sistem.
d.
Latency yang berarti sistem sosial selalu berusaha mempertahankan bentuk-bentuk
interaksi yang relatif tetap dan setiap perilaku menyimpang selalu di akomodasi
melalui kesepakatan-kesepakatan yang diperbaharui terus menerus.
Dari teori
tersebut juga dapat dipahami bahwa sebenarnya sistem sosial ataupun perilaku
yang sudah berkembang di suatu kelompok sosial sebenarnya itu masih bisa
diubah, dan lama kelamaan pasti masyarakat akan mulai bisa menyesuaikan diri
dengan perubahan yang terjadi. Tapi merubahnya itu dengan apa? Ya dengan
pendidikan, karena pendidikan adalah agen perubahan, perubah tingkah laku
masyarakat menuju yang lebih baik. Senada dengan Emile Durkheim yang
menggambarkan bahwa betapa generasi muda memerlukan bantuan pendidikan untuk
mempersiapkan diri, memasuki kehidupan masyarakat yang memiliki tata nilai
tertentu. Pendidikan di persepsikan Durkheim sebagai suatu kesatuan utuh dari
masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan sebagai dasar masyarakat menentukan
proses alokasi dan distribusi sumber-sumber perubahan. Baginya pendidikan juga
merupakan “baby sitting” yang
bertugas agar warga masyarakat tidak berperilaku yang menyimpang. Pendidikan
menurut Durkheim harus bisa memaksimalkan bakat
siswa dan juga harus didekatkan pada masyarakat.
Selain terkait dengan teori
struktural fungsional, kasus diatas juga terkait dengan “Teori Aksi” yang diperkenalkan oleh Max Weber, ia
berpendapat bahwa individu melakukan suatu tindakan
berdasarkan atas pengalaman, persepsi, pemahaman dan penafsirannya atas suatu
obyek stimulus atau situasi tertentu. Tindakan individu ini merupakan tindakan
sosial yang rasional, yaitu mencapai tujuan atau sasaran dengan sarana-sarana
yang paling tepat. Teori Weber ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Talcott
Parsons, agak berbeda dengan Weber, Parsons meyatakan bahwa aksi atau action itu bukanlah perilaku atau behavior, melainkan aksi itu adalah
tanggapan atau respons mekanis terhadap suatu stimulus, sedangkan perilaku
adalah suatu proses mental yang aktif dan kreatif. Menurut Parsons, yang utama bukanlah
tindakan individual, melainkan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang menuntun
dan pengatur perilaku. Kondisi obyektif disatukan dengan komitmen kolektif
terhadap suatu nilai akan mengembangkan suatu bentuk tindakan sosial
tertentu. Parsons melihat bahwa tindakan
individu atau kelompok dipengaruhi oleh 3 sistem, yaitu sistem
sosial, sistem budaya, dan sistem kepribadian masing-masing individu. Kita dapat
mengaitkan individu dengan sistem sosialnya melalui status dan
perannya. Dalam setiap sistem sosial, individu menduduki suatu tempat atau
status tertentu dan bertindak atau berperan sesuai dengan norma atau aturan
yang dibuat oleh sistem tersebut dan perilaku individu ditentukan pula oleh
tipe kepribadiannya.
Hubungannya dengan kasus putus sekolah diatas jika dikaitkan dengan teori
aksi dari Weber, disini masyarakat pedesaan pada umumnya memilih anaknya untuk
memutuskan pendidikannya karena tidak adanya pengalaman pada kehidupan mereka
yang memberikan sebuah persepsi kepada mereka bahwa apa sih pendidikan itu?.
Karena kita tahu sendiri lingkungan masyarakat pedesaan itu seperti apa, mereka
cenderung bertumpu pada pemikiran orang terdahulu yang masih terkungkung pada
suatu tradisi. Dan terus menerus seperti itu. Pendidikan juga merupakan suatu
hal yang baru bagi mereka. Untuk mengubah persepsi mereka, dibutuhkan suatu
pengalaman atau kejadian yang akan membuat mereka belajar atau memahami bahwa
pendidikan itu penting. Mungkin saja dengan mereka keluar sebentar dari
lingkungannya selama ini, dengan berpindah ke lingkungan yang lebih intelek
mereka akan mengerti bagaimana pentingnya pendidikan itu. Contohnya saja
masyarakat perkotaan karena hidup di lingkungan yang membuatnya memperoleh
pengalaman tentang pendidikan yang dapat membuat seseorang bisa sukses
merekapun mempunyai persepsi tentang seperti apa sih pendidikan, mereka juga
menjadi paham bahwa pendidikan itu penting sehingga mereka berbondong-bondong
untuk memberikan kepada anaknya pendidikan yang setinggi-tingginya. Oleh sebab
itu, disini pengalaman, persepsi, dan pemahaman menjadi faktor terpenting bagi
suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang. Untuk membentuk persepsi dan
pemahaman yang musti dilakukan sekarang ini adalah memberikan pengertian
tentang apa itu pendidikan, bagaimana pentingnya pendidikan serta pembuktian
bahwa pendidikan itu bisa mengangkat derajat seseorang serta membawa seseorang
menuju kesuksesan. Kesuksesan bukanlah diukur dari materi melainkan dari berapa
banyak kontribusi yang dapat kita berikan untuk bangsa ini.
Sementara jika dikaitkan dengan teori aksinya Talcott Parsons, tindakan
masyarakat yang menyuruh anaknya untuk putus sekolah tersebut merupakan salah
satu respons atas apa yang terjadi di lingkungan mereka. Dalam artian begini,
kebanyakan orang di lingkungan mereka lebih mementingkan anaknya untuk bekerja
atau menikah ketimbang mengenyam pendidikan, tanpa seseorang sadari hal
tersebut merupakan stimulus bagi mereka dan mereka merespon apa yang dilihatnya
tersebut dengan hal yang serupa. Secara terus menerus kondisi tersebut akan
membangun suatu komitmen sehingga dapat menjadi suatu tindakan sosial yang umum
terjadi di suatu kelompok sosial. Karena disini yang terpenting bukanlah
tindakan yang dilakukan perindividu menurut pemikirannya masing-masing, melainkan
bagaimana tindakan terebut sesuai dengan tindakan atau kebiasaan yang berlaku
di dalam suatu kelompok sosial.
Kasus yang terjadi diatas juga
mengungkapkan bahwa anak putus sekolah banyak terjadi di daerah pedesaan yang
notabenenya masih primitif akan pendidikan, berbeda dengan masyarakat perkotaan
yang begitu faham akan pentingnya pendidikan. Masyarakat pedesaan tidak
memikirkan tentang jenis pekerjaan apa yang akan anak mereka duduki kelak
dengan bekal pendidikan rendah yang anak mereka miliki sekarang, berbeda dengan
masyarakat perkotaan yang berfikir seperti ini “kelak akan jadi apa saya jika
tidak berbekal pendidikan yang tinggi?”. Hal ini di dukung dengan adanya
hubungan antara pendidikan dan stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial merupakan sebuah pengelompokan masyarakat yang
digunakan untuk membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang
lainnya. Didalam masyarakat dasar-dasar pembentukan stratifikasi sosial
dilihat dari empat hal:
Pertama
dilihat dari ukuran kekayaan. Kekayaan (materi atau kebendaan)
dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan
paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan
sosial, demikian pula sebaliknya, yang tidak mempunyai kekayaan akan
digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat
antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya,
cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.
Kedua dilihat dari ukuran kekuasaan dan wewenang. Dalam hal ini jika seseorang
mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar maka, ia akan menempati lapisan
teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan.
Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak
kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.
Ketiga
dilihat dari ukuran kehormatan. Disini ukuran kehormatan
dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang
disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan
sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat
tradisional, biasanya mereka sangat
menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.
Dan
keempat, dilihat dari ukuran ilmu pengetahuan. Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang
menghargai ilmu pengetahuan, seperti masyarakat perkotaan. Disini seseorang
yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem
pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini
biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang
disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor
ataupun gelar profesional seperti profesor.
Dengan hal tersebut kita tahu bahwa
masyarakat pedesaan itu membentuk stratifikasi sosialnya dengan kekayaan,
terbukti dengan mereka lebih senang jika anaknya merantau ke luar negeri yang
notabenenya memiliki penghasilan yang tinggi, untuk mengubah stratifikasi
sosialnya ke dalam tahap yang lebih tinggi (mobilitas sosial). Berbeda dengan
masyarakat perkotaan yang membentuk stratifikasi sosialnya dengan ilmu
pengetahuan atau pendidikan, karena dengan hal tersebut mereka yakin mereka bisa
mendapatkan kekayaan, kehormatan, serta kekuasaan yang tinggi, tidak dengan
cara instan yakni dengan menjadi TKI atau menikahkan anaknya dengan keluarga
yang terpandang.
Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa
pendidikan dengan stratifikasi sosial sangat erat hubungannya. Pada
stratifikasi sosial terbuka pendidikan dapat menjadi alat untuk mobilisasi
sosial. Pendidikan sebagai salah satu dasar penentu kelas sosial dapat merubah
kelas atau kedudukan seseorang. Dan setelah saya pahami stratifikasi sosial
yang terdapat pada analisis kasus tadi, berhubungan dengan teori konflik dari
Max Weber yang juga didasarkan pada stratifikasi yang terjadi di dalam
kehidupan bermasyarakat. Di teorinya Weber melihat bahwa perbedaan dalam
stratifikasi tersebut disebabkan adanya
kelompok-kelompok status. Suatu kelompok status biasanya memiliki nilai-nilai
budaya yang sama, termasuk gaya hidup; kesamaan bahasa; fashion style, upacara
ritual yang sama, olah raga, rasa seni yang sama, dan sebagainya. Weber juga
menyebutkan tiga sumber penyebab terbentuknya stratifikasi sosial yaitu perbedaan
situasi atau keadaan ekonomi (Weber
menyebutkan dengan kelas yang berbeda),
perbedaan posisi kekuasaan atau
politik, dan perbedaan kondisi
sosial, budaya atau lembaga.
Kasus diatas
dapat ditanggulangi atau diminimalisir dengan melakukan pemerataan pendidikan
khususnya di wilayah pedesaan atau wilayah terpencil yang umumnya masih
terisolasi dengan yang namanya pendidikan. Hal tersebut dimulai dengan
pembangunan infrastruktur pendidikan dan pengiriman tenaga pendidik yang
bermutu ke daerah-daerah tersebut. Hendaknya juga pemerintah lebih tegas lagi
dalam pencanangan wajib belajar setidaknya 12 tahun, hingga tidak ada lagi yang
berani memutuskan pendidikannya. Tak hanya itu saja, pengertian mengenai
pentingnya pendidikan serta pemberitahuan tentang adanya dana khusus yang
dianggarkan untuk anak-anak yang tidak mampu secara finansial perlu disosialisasikan
kepada masyarakat agar mereka tidak punya lagi alasan untuk tidak mengenyam
bangku pendidikan.
C. Sumber
http://news.liputan6.com/read/2386295/1302-anak-di-sampang-putus-sekolah (Diakses pada tanggal 27 Maret 2016, Pukul 16:26).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar