Sabtu, 15 September 2018

SOSIOLOGI PENDIDIKAN: UTS Menganalisis Kasus di Dunia Pendidikan (Semester 2)


MENGANALISIS KASUS DI DUNIA PENDIDIKAN
UJIAN TENGAH SEMESTER
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sosiologi Pendidikan
Yang dibina oleh Datu Jatmiko, S.Pd. M.A.









Disusun Oleh:
Nama         : Risma Nur Izzati
Kelas         : PGMI-2A
NIM          : 17205153002




JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
TULUNGAGUNG
April 2016

A.      Kasus

1.302 Anak di Sampang Putus Sekolah

Sejumlah siswa berbaris sebelum mengikuti upacara Senin (27/7/2015).
Liputan6.com, Sampang – Berdasarkan data Dinas Pendidikan Sampang, hingga 2015 tercatat 1.302 anak di kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur putus sekolah.
“Jumlah angka putus sekolah ini dari berbagai tingkatan pendidikan, mulai dari tingkat SD hingga SMA dan yang sederajat”, kata Kabid Kurikulum Dinas Pendidikan Sampang Arief Budiansor di Sampang, Kamis (10/12/2015) seperti dilansir Antara.
Menurut dia, mayoritas anak putus sekolah berasal dari tingkat Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Tercatat sebanyak 657 siswa putus sekolah pada tingkat itu.
Sementara pada tingkat SMP/MTs ada 500 siswa yang tidak dapat melanjutkan sekolah, sisanya ada di tingkat SMA/SMK dan MA sebanyak 145 siswa.
Dia menjelaskan sebagian besar anak putus sekolah bukan karena biaya pendikan yang mahal.
Ada faktor lain yang lebih menonjol di kabupaten ini, seperti menikah usia dini. Ada pula yang memilih untuk merantau. Mereka mengikuti orangtuanya di luar Madura, seperti Kalimantan, Jakarta atau ke Surabaya. Bahkan ada yang ikut orang tuanya bekerja di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Umumnya siswa putus sekolah itu Berasal dari wilayah pedesaan dan lembaga pendidikan yang ada di bawah naungan yayasan atau pesantren. “Kalau di wilayah kota, hampir tidak ada anak putus sekolah. Kalaupun ada, karena faktor ekonomi. Tapi itu dulu, sekarang kan sudah ada Bantuan Operasional Sekolah”, ujar Budiansor.
Untuk menekan banyaknya pelajar yang putus sekolah, Disdik Sampang berupaya mendirikan sekolah unit baru di masing-masing kecamatan. Pemkab juga mengaktifkan program pendidikan kejar paket.
Selain itu, Disdik terus memberikan pemahaman kepada orang tua siswa akan pentingnya menuntaskan pendidikan. Ini merupakan bekal hidup setelah bermasyarakat.
Berdasarkan data BPS pada 2013, rata-rata nasional angka putus sekolah usia 7-12 tahun mencapai 0,67 persen atau 182.773 anak; usia 13-15 tahun sebanyak 2,21 persen atau 209.976 anak; dan usia 16-18 tahun mencapai 3,14 persen atau 2223.676 anak.
Provinsi Jawa Timur tercatat sebagai provinsi dengan anak putus sekolah terbanyak, yakni mencapai 35.546 anak. Sedangkan Kabupaten/kota terbanyak anak putus sekolah ialah di Kabupaten Sampang.

B.       Analisis
Putus sekolah menjadi masalah krusial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di Indonesia khususnya, Putus sekolah telah masuk ke dalam seluruh ranah masyarakat bahkan telah menjadi fenomena tersendiri, dan hal tersebutpun terjadi dengan latar belakang motif yang beragam. Tingginya angka putus sekolah membawa dampak yang sangat besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa kita sadari, anak yang putus sekolah dapat menimbulkan keresahan sosial, ekonomi, dan moral di masa depan. Oleh karena itu kasus putus sekolah ini membutuhkan perhatian yang serius dari berbagai pihak.
Dari sekian banyak faktor penyebab anak-anak putus sekolah diatas, yakni: faktor ekonomi, faktor pernikahan dini, serta faktor kurangnya pemahaman orang tua akan pentingnya pendidikan sehingga mereka lebih mementingkan anaknya untuk bekerja. Menurut pendapat saya faktor kesadaran orang tualah disini yang menjadi faktor vital penyebab berhentinya anak dari sekolah. Karena disisi lain merekalah yang menentukan iya tidaknya sang anak mengenyam pendidikan atau tidak. Sebab dapat dikatakan walaupun secara ekonomi pada dasarnya mereka (orang tua) tergolong tidak mampu , tapi jika mereka mempunyai keyakinan yang kuat akan pendidikan bagi anaknya, pasti sebagai orang tua dengan berbagai cara mereka akan giat berusaha untuk mencari uang agar anaknya bisa mendapatkan pendidikan, sebab di dalam diri mereka terdapat secercah harapan akan keyakinan bahwa pendidikan bisa mengubah nasib mereka. Dan sebaliknya meski secara finansial orang tua tergolong mampu tetapi jika mereka tidak mempunyai keyakinan atau pemahaman yang kuat akan pentingnya pendidikan, ya contohnya seperti fenomena sekarang ini, mereka tidak menomorsatukan pendidikan bagi buah hatinya, bagi mereka uanglah yang menentukan tingkat keberhasilan anaknya, bukan pendidikan.
Analisis ini bersandar pada pernyataan para ahli sosiologi pendidikan yang menyatakan bahwa proses sosialisasi yang pertama dan utama itu terjadi di lingkungan keluarga. Conny R. Semiawan di dalam bukunya menuliskan “Lingkungan keluarga merupakan media pertama dan utama yang secara langsung atau tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku dan perkembangan peserta didik”. Di dalam keluarga anak belajar melakukan interaksi sosial yang pertama serta mulai mengenal tentang perilaku yang diperankan oleh orang lain di lingkungannya. Dengan kata lain, pengenalan tentang nilai-nilai budaya atau masyarakat atau nilai apapun itu termasuk nilai tentang keyakinan akan pentingnya pendidikan pertama kali ditanamkan juga di dalam keluarga. Penanaman tersebut akan menuai banyak pengaruh pada pemikiran seorang anak, anak yang ditanamkan mengenai pentingnya pendidikan dengan kuat, kelak jika dewasa dia akan berjuang sekuat tenaga untuk memperoleh pendidikan yang diinginkannya walaupun disisi lain orang tuanya melarang. Dengan keyakinan yang sudah tertanam didalamnya ia justru akan bisa meyakinkan orang tuanya mengenai pentingnya pendidikan tersebut.
Mengingat pendidikan merupakan sesuatu yang paling penting bagi pertumbuhan dan perkembangan pribadi anak. Untuk itu, peran dari keluarga sangat dibutuhkan sebagai salah satu penentu keberhasilan perkembangan dan penyelenggaraan pendidikan anak. Bens juga menyatakan “when families are involved, children benefit by having a more positive attitude toward learning, better attendance, fewer placements in special education, better grades and increased likelihood of graduating from high school and going to work or continuing their education”. Dari apa yang dikemukakan oleh Bens tersebut, dapat diketahui pentingnya keterlibatan orang tua pada pendidikan anak. Dengan dukungan orang tua, anak akan memiliki sikap yang positif terhadap pendidikan. Dalam proses pendidikan anak, perhatian dan dukungan orang tua merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap kesuksesan anak dalam menempuh pendidikannya.
Tak hanya keluarga, ternyata lingkungan masyarakat juga merupakan agen sosialisasi primer. Coba bayangkan kita hidup di dunia ini tidak bisa lepas dari yang namanya masyarakat, kita hidup di tengah-tengah masyarakat, semua yang kita perbuat yang menilai adalah masyarakat, dan kita terjun kelak juga kedalam masyarakat. Oleh sebab itu kondisi masyarakat dimana kita idup dapat membawa dampak yang begitu besar kepada diri seseorang. Kalau keadaan masyarakatnya baik, akan dapat membawa kita ke jalan yang baik. Kalau keadaan masyarakatnya buruk kemungkinan besar akan membawa kita ke jalan yang buruk juga. Oleh sebab itu ini semua tergantung pada diri masing-masing individu akankah kita terus terbelenggu kedalam pengaruh buruk tersebut atau tidak. Karena sangat sulit untuk menilai apakah yang tertanam didalam lingkungan masyarakat dimana kita tumbuh selama ini itu baik atau buruk,  jika kita tidak dibekali dengan pendidikan yang lain semisal pendidikan formal yang mengajarkan apa yang tidak diajarkan di lingkungan sosial ataupun lingkungan keluarga. Ya contohnya seperti putus sekolah tadi, di pedesaan itu bukanlah dinilai sebagai hal yang buruk sebab ya selama ini memang hal itu yang berkembang atau cenderung ditanamkan oleh kelompok masyarakatnya. Tapi hal itu berbeda jika di masyarakat perkotaan, putus sekolah akan dinilai sebagai hal yang buruk sebab di dalam masyarakat perkotaan mengenyam pendidikan itu dipandang sebagai suatu hal yang penting. Hal tersebut didukung dengan teori struktural fungsional yang dikemukakan oleh Talcott Parsons, meliputi:
a.         Adaptation yang berarti sistem sosial (masyarakat) selalu berubah untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi, baik secara internal ataupun eksternal.
b.        Goal Attainment yang berarti setiap sistem sosial (masyarakat) selalu ditemui tujuan-tujuan bersama yang ingin dicapai oleh sistem sosial tersebut.
c.         Integration yang berarti setiap sistem sosial selalu terintegrasi dan cenderung bertahan pada equilibrium (keseimbangan). Kecenderungan ini dipertahankan memalui kemampuan bertahan hidup demi sistem.
d.        Latency yang berarti sistem sosial selalu berusaha mempertahankan bentuk-bentuk interaksi yang relatif tetap dan setiap perilaku menyimpang selalu di akomodasi melalui kesepakatan-kesepakatan yang diperbaharui terus menerus.
Dari teori tersebut juga dapat dipahami bahwa sebenarnya sistem sosial ataupun perilaku yang sudah berkembang di suatu kelompok sosial sebenarnya itu masih bisa diubah, dan lama kelamaan pasti masyarakat akan mulai bisa menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Tapi merubahnya itu dengan apa? Ya dengan pendidikan, karena pendidikan adalah agen perubahan, perubah tingkah laku masyarakat menuju yang lebih baik. Senada dengan Emile Durkheim yang menggambarkan bahwa betapa generasi muda memerlukan bantuan pendidikan untuk mempersiapkan diri, memasuki kehidupan masyarakat yang memiliki tata nilai tertentu. Pendidikan di persepsikan Durkheim sebagai suatu kesatuan utuh dari masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan sebagai dasar masyarakat menentukan proses alokasi dan distribusi sumber-sumber perubahan. Baginya pendidikan juga merupakan “baby sitting” yang bertugas agar warga masyarakat tidak berperilaku yang menyimpang. Pendidikan menurut Durkheim harus bisa memaksimalkan bakat siswa dan juga harus didekatkan pada masyarakat.
Selain terkait dengan teori struktural fungsional, kasus diatas juga terkait dengan “Teori Aksi” yang diperkenalkan oleh Max Weber, ia berpendapat bahwa individu melakukan suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi, pemahaman dan penafsirannya atas suatu obyek stimulus atau situasi tertentu. Tindakan individu ini merupakan tindakan sosial yang rasional, yaitu mencapai tujuan atau sasaran dengan sarana-sarana yang paling tepat. Teori Weber ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Talcott Parsons, agak berbeda dengan Weber, Parsons meyatakan bahwa aksi atau action itu bukanlah perilaku atau behavior, melainkan aksi itu adalah tanggapan atau respons mekanis terhadap suatu stimulus, sedangkan perilaku adalah suatu proses mental yang aktif dan kreatif. Menurut Parsons, yang utama bukanlah tindakan individual, melainkan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang menuntun dan pengatur perilaku. Kondisi obyektif disatukan dengan komitmen kolektif terhadap suatu nilai akan mengembangkan suatu bentuk tindakan sosial tertentu. Parsons melihat bahwa tindakan individu atau kelompok dipengaruhi oleh 3 sistem, yaitu sistem sosial, sistem budaya, dan sistem kepribadian masing-masing individu. Kita dapat mengaitkan individu dengan sistem sosialnya melalui status dan perannya. Dalam setiap sistem sosial, individu menduduki suatu tempat atau status tertentu dan bertindak atau berperan sesuai dengan norma atau aturan yang dibuat oleh sistem tersebut dan perilaku individu ditentukan pula oleh tipe kepribadiannya.
Hubungannya dengan kasus putus sekolah diatas jika dikaitkan dengan teori aksi dari Weber, disini masyarakat pedesaan pada umumnya memilih anaknya untuk memutuskan pendidikannya karena tidak adanya pengalaman pada kehidupan mereka yang memberikan sebuah persepsi kepada mereka bahwa apa sih pendidikan itu?. Karena kita tahu sendiri lingkungan masyarakat pedesaan itu seperti apa, mereka cenderung bertumpu pada pemikiran orang terdahulu yang masih terkungkung pada suatu tradisi. Dan terus menerus seperti itu. Pendidikan juga merupakan suatu hal yang baru bagi mereka. Untuk mengubah persepsi mereka, dibutuhkan suatu pengalaman atau kejadian yang akan membuat mereka belajar atau memahami bahwa pendidikan itu penting. Mungkin saja dengan mereka keluar sebentar dari lingkungannya selama ini, dengan berpindah ke lingkungan yang lebih intelek mereka akan mengerti bagaimana pentingnya pendidikan itu. Contohnya saja masyarakat perkotaan karena hidup di lingkungan yang membuatnya memperoleh pengalaman tentang pendidikan yang dapat membuat seseorang bisa sukses merekapun mempunyai persepsi tentang seperti apa sih pendidikan, mereka juga menjadi paham bahwa pendidikan itu penting sehingga mereka berbondong-bondong untuk memberikan kepada anaknya pendidikan yang setinggi-tingginya. Oleh sebab itu, disini pengalaman, persepsi, dan pemahaman menjadi faktor terpenting bagi suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang. Untuk membentuk persepsi dan pemahaman yang musti dilakukan sekarang ini adalah memberikan pengertian tentang apa itu pendidikan, bagaimana pentingnya pendidikan serta pembuktian bahwa pendidikan itu bisa mengangkat derajat seseorang serta membawa seseorang menuju kesuksesan. Kesuksesan bukanlah diukur dari materi melainkan dari berapa banyak kontribusi yang dapat kita berikan untuk bangsa ini.
Sementara jika dikaitkan dengan teori aksinya Talcott Parsons, tindakan masyarakat yang menyuruh anaknya untuk putus sekolah tersebut merupakan salah satu respons atas apa yang terjadi di lingkungan mereka. Dalam artian begini, kebanyakan orang di lingkungan mereka lebih mementingkan anaknya untuk bekerja atau menikah ketimbang mengenyam pendidikan, tanpa seseorang sadari hal tersebut merupakan stimulus bagi mereka dan mereka merespon apa yang dilihatnya tersebut dengan hal yang serupa. Secara terus menerus kondisi tersebut akan membangun suatu komitmen sehingga dapat menjadi suatu tindakan sosial yang umum terjadi di suatu kelompok sosial. Karena disini yang terpenting bukanlah tindakan yang dilakukan perindividu menurut pemikirannya masing-masing, melainkan bagaimana tindakan terebut sesuai dengan tindakan atau kebiasaan yang berlaku di dalam suatu kelompok sosial.
Kasus yang terjadi diatas juga mengungkapkan bahwa anak putus sekolah banyak terjadi di daerah pedesaan yang notabenenya masih primitif akan pendidikan, berbeda dengan masyarakat perkotaan yang begitu faham akan pentingnya pendidikan. Masyarakat pedesaan tidak memikirkan tentang jenis pekerjaan apa yang akan anak mereka duduki kelak dengan bekal pendidikan rendah yang anak mereka miliki sekarang, berbeda dengan masyarakat perkotaan yang berfikir seperti ini “kelak akan jadi apa saya jika tidak berbekal pendidikan yang tinggi?”. Hal ini di dukung dengan adanya hubungan antara pendidikan dan stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial merupakan sebuah pengelompokan masyarakat yang digunakan untuk membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lainnya. Didalam masyarakat dasar-dasar pembentukan stratifikasi sosial dilihat dari empat hal:
Pertama dilihat dari ukuran kekayaan. Kekayaan (materi atau kebendaan) dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, yang tidak mempunyai kekayaan akan digolongkan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan tersebut dapat dilihat antara lain pada bentuk tempat tinggal, benda-benda tersier yang dimilikinya, cara berpakaiannya, maupun kebiasaannya dalam berbelanja.
Kedua dilihat dari ukuran kekuasaan dan wewenang. Dalam hal ini jika seseorang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar maka, ia akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatangkan kekayaan.
Ketiga dilihat dari ukuran kehormatan. Disini ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur.
Dan keempat, dilihat dari ukuran ilmu pengetahuan. Ukuran ilmu pengetahuan sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan, seperti masyarakat perkotaan. Disini seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor.
Dengan hal tersebut kita tahu bahwa masyarakat pedesaan itu membentuk stratifikasi sosialnya dengan kekayaan, terbukti dengan mereka lebih senang jika anaknya merantau ke luar negeri yang notabenenya memiliki penghasilan yang tinggi, untuk mengubah stratifikasi sosialnya ke dalam tahap yang lebih tinggi (mobilitas sosial). Berbeda dengan masyarakat perkotaan yang membentuk stratifikasi sosialnya dengan ilmu pengetahuan atau pendidikan, karena dengan hal tersebut mereka yakin mereka bisa mendapatkan kekayaan, kehormatan, serta kekuasaan yang tinggi, tidak dengan cara instan yakni dengan menjadi TKI atau menikahkan anaknya dengan keluarga yang terpandang.
Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan dengan stratifikasi sosial sangat erat hubungannya. Pada stratifikasi sosial terbuka pendidikan dapat menjadi alat untuk mobilisasi sosial. Pendidikan sebagai salah satu dasar penentu kelas sosial dapat merubah kelas atau kedudukan seseorang. Dan setelah saya pahami stratifikasi sosial yang terdapat pada analisis kasus tadi, berhubungan dengan teori konflik dari Max Weber yang juga didasarkan pada stratifikasi yang terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat. Di teorinya Weber melihat bahwa perbedaan dalam stratifikasi tersebut  disebabkan adanya kelompok-kelompok status. Suatu kelompok status biasanya memiliki nilai-nilai budaya yang sama, termasuk gaya hidup; kesamaan bahasa; fashion style, upacara ritual yang sama, olah raga, rasa seni yang sama, dan sebagainya. Weber juga menyebutkan tiga sumber penyebab terbentuknya stratifikasi sosial yaitu perbedaan situasi atau keadaan ekonomi (Weber menyebutkan dengan kelas yang berbeda), perbedaan posisi kekuasaan atau politik, dan perbedaan kondisi sosial, budaya atau lembaga.
Kasus diatas dapat ditanggulangi atau diminimalisir dengan melakukan pemerataan pendidikan khususnya di wilayah pedesaan atau wilayah terpencil yang umumnya masih terisolasi dengan yang namanya pendidikan. Hal tersebut dimulai dengan pembangunan infrastruktur pendidikan dan pengiriman tenaga pendidik yang bermutu ke daerah-daerah tersebut. Hendaknya juga pemerintah lebih tegas lagi dalam pencanangan wajib belajar setidaknya 12 tahun, hingga tidak ada lagi yang berani memutuskan pendidikannya. Tak hanya itu saja, pengertian mengenai pentingnya pendidikan serta pemberitahuan tentang adanya dana khusus yang dianggarkan untuk anak-anak yang tidak mampu secara finansial perlu disosialisasikan kepada masyarakat agar mereka tidak punya lagi alasan untuk tidak mengenyam bangku pendidikan.

C.      Sumber
http://news.liputan6.com/read/2386295/1302-anak-di-sampang-putus-sekolah (Diakses pada tanggal 27 Maret 2016, Pukul 16:26).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar