Jumat, 14 September 2018

PSIKOLOGI PENDIDIKAN: Makalah Kenakalan Remaja (Semester 2)


KENAKALAN REMAJA
MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Psikologi Pendidikan
Yang dibina oleh Germino Wahyu
11050637_1655434244688794_3266224396869722217_n.jpg







Disusun Oleh:
Kelompok 1
1.      Risma Nur Izzati               (17205153002)
2.      Lina Jinatul Falah              (172051530
3.      Sinta Ika Windarwati        (172051530
4.      Kusna Desita Sari             (172051530    
5.      Gevy Wulandari                (172051530
6.      Hamiyatus Sariroh (172051530
7.      Indri Nofiyanti                  (172051530


JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
TULUNGAGUNG
Maret 2016



KATA PENGANTAR
Assalamualaikum1.png
Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt.yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya kepada kita semua. Sholawat serta  salam  semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan besar kita Nabi Muhammad saw.dan semoga kita akan selalu mendapat syafaatnya baik didunia maupun di akhirat kelak.
Alhamdulillah, dengan pertolongan dan hidayah-Nya  penulis dapat  menyusun makalah ini untuk memenuhi  tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan yang berjudul KENAKALAN REMAJA.
Kami menyadari tanpa bantuan dari berbagai pihak penulisan makalah ini tidak mungkin terlaksana dengan baik.Oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1.        Dr. Mafthukin, M.Ag. selaku Rektor IAIN Tulungagung yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menimba ilmu di IAIN Tulungagung ini,
2.        Germino Wahyu  selaku Dosen pengampu mata kuliah Psikologi Pendidikan yang telah membimbing dan mengarahkan kami dengan sabar agar mempunyai pemahaman yang benar mengenai mata kuliah ini,
3.        Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan membuahkan ilmu yang maslahahfiidinniwadunyawalakhirah.


Tulungagung, 01 Maret 2016



      Penulis


DAFTAR ISI

COVER............................................................................................................
KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang..................................................................................... 1
B.       Rumusan Masalah................................................................................. 2
C.       Tujuan Pembahasan.............................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
A.      Masalah Kenakalan Remaja.................................................................. 12
B.       Pengertian Pubertas dan Juvenile Andolesence
C.       Faktor Penyebab Kenakalan Remaja
D.      Teori yang berhubungan dengan Pubertas dan Juvenile Andolesence
E.       Hubungan Pubertas dan Juvenile Andolesence dengan Pembelajaran
F.        Cara Mengatasi Kenakalan Remaja

BAB III PENUTUP
A.       Kesimpulan........................................................................................... 15
B.       Saran..................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 16



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Terjadinya kenakalan remaja sering kita jumpai, berbagaimacam penyebab baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi terjadinya kenakalan remaja. Tidak di pungkiri bahwa setiap remaja memiliki jiwa ingin tahu, jadi yang terbaik,dan keinginan untuk membanggakan diri. Oleh sebab itu pada masa transisi adalah titik awal terbentuknya psikis seorang remaja yang bias dikatakan “bebas”
Hal hal seperti pembelajaran membosankan serta masalah dirumah (broken home) adalah satu dari sekian banyak penyebab kenakalan remaja yang umumnya dialami oleh seorang pelajar yang mempunyai sifat mudah terpengaruh yang sangat tinggi.
Dengan motivasi dari lingkungan sekolah (teman), kasih sayang, kepedulian,dan pendalaman imu agamadari keluarga kenakalan remaja akan bias dihindari. Dalam penyusunan makalah ini saya akan membahas penyebab,dampak,dan cara mengatasi/menghindari terjadinya kenakalan remaja.

B.       Rumusan Masalah
1.        Bagaimana masalah kenakalan remaja?
2.        Bagaimana pengertian pubertas dan juvenile andolesence?
3.        Bagaimana faktor penyebab kenakalan remaja?
4.        Bagaimana teori yang berhubungan dengan pubertas dan juvenile andolesence?
5.        Bagaimana hubungan pubertas dan juvenile andolesence dengan pembelajaran?
6.        Bagaimana cara mengatasi kenakalan remaja?


C.      Tujuan Pembahasan
2.        Untuk menjelaskan pengertian pubertas dan juvenile andolesence.
3.        Untuk menjelaskan faktor penyebab kenakalan remaja.
4.        Untuk menjelaskan teori yang berhubungan dengan pubertas dan juvenile andolesence.
5.        Untuk menjelaskan hubungan pubertas dan juvenile andolesence dengan pembelajaran
6.        Untuk menjelaskan cara mengatasi kenakalan remaja.






















BAB II
PEMBAHASAN

A.      Masalah Kenakalan Remaja
Di masa modern ini, merokok merupakan suatu pemandangan yang tidak asing. Kebiasaan merokok dianggap dapat memberikan kenikmatan bagi si perokok, namun di lain pihak dapat menimbulkan dampak buruk bagi si perokok sendiri maupun orang-orang disekitarnya. Berbagai kandungan zat yang terdapat di dalam rokok memberikan dampak negatif bagi tubuh penghisapnya. Beberapa motivasi melatarbelakangi seseorang merokok adalah untuk medapatkan pengakuan (anticipatory beliefs), untuk menghilangkan kekecewaan (reliefing beliefs), dan menganggap perbuatannya tersebut tidak melanggar norma (permissive beliefs atau fasilitative). Hal ini sejalan dengan kegiatan merokokyang dilakukan oleh remaja yang biasanya dilakukan di depan orang lain, terutama dilakukan di depan kelompoknya karena mereka sangat tertarik kepada kelompok sebayanya atau dengan kata lain terikat dengan kelompoknya. Sampai saat ini masalah seksualitas selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Hal ini mungkin permasalahan seks bebas seksual telah menjadi suatu hal yang sangat melekat pada diri manusia. Seksualitas tidak bisa dihindari oleh makhluk hidup, karena dengan seks makhluk hidup dapat terus bertahan menjaga kelestarian keturunannya.
Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis. Padahal pada masa remaja informasi masalah seksual sudah seharusnya mulai diberikan, agar remaja tidak mencari informasi dari orang lain atau sumber-sumber yang tidak jelas atau bahkan keliru sama sekali.
Pemberian informasi masalah seksual menjadi penting terlebih lagi mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, karena berkaitan dengan dorongan seksual mereka sendiri. Tentu saja hal tersebut akan sangat berbahaya bagi perkembangan jiwa remaja bila ia tidak memiliki pengetahuan dan informasi yang tepat. Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar remaja kita tidak mengetahui dampak dari perilaku seksual yang mereka lakukan, seringkali remaja sangat tidak matang untuk melakukan hubungan seksual terlebih lagi jika harus menanggung resiko dari hubungan seksual tersebut.

B.       Pengertian Pubertas dan Juvenile Andolesence
Pubertas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu tahapan penting dalam masa serta proses tumbuh kembang anak. Masa pubertas anak juga bisa dikatakan sebagai suatu masa transisi atau masa peralihan dari masa anak-anak ke masa menuju remaja dan juga dewasa. Pubertas adalah masa ketika seorang anak mengalami perubahan fisik, psikis, dan pematangan fungsi seksual. Masa pubertas dalam kehidupan kita biasanya dimulai saat berumur delapan hingga sepuluh tahun dan berakhir lebih kurang di usia 15 hingga 16 tahun.[1]
Dalam masa pubertas terdapat beberapa dimensi yang berkaitan dengan perkembangan antara lain:
a)        Dimensi Biologis
Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas yang ditandai dengan menstruasi pertama pada remaja putri ataupun perubahan suara pada remaja putra, secara biologis dia mengalami perubahan yang sangat besar. Pubertas menjadikan seorang anak tiba-tiba memiliki kemampuan untuk bereproduksi. Pada masa pubertas, hormon seseorang menjadi aktif dalam memproduksi dua jenis hormon (gonadothrophins atau gonadothrophic hormones) yang berhubungan dengan pertumbuhan, dari hormon-hormon tersebut merubah sistem biologis seorang anak.

b)       Dimensi Psikologis
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood “senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam. Untuk hal yang sama, perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis. Dalam hal kesadaran diri, pada masa ini remaja mengalami perubahan yang dramatis dalam kesadaran diri mereka (self-awareness). Mereka sangat rentan terhadap pendapat orang lain karena mereka menganggap bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti mereka mengagumi atau mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu membuat remaja sangat memperhatikan diri mereka dan citra yang direfleksikan (self-image). Remaja cenderung untuk mengaggap diri mereka sangat unik dan bahkan percaya keunikan mereka akan berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran. Renaja putri akan bersolek berjam-jam dihadapan cermin karena ia percaya orang akan melirik dan tertarik pada kecantikannya, sedang remaja putra akan membayangkan dirinya dikagumi lawan jenisnya jika ia terlihat unik dan hebat. Pada usia 16 tahun keatas, keesentrikan remaja akan berkurang dengan sendirinya jika ia sering dihadapkan dengan dunia nyata. Pada saat itu, remaja akan mulai sadar bahwa orang lain ternyata memiliki dunia tersendiri dan tidak selalu sama dengan yang dihadapi ataupun dipikirkannya, Anggapan remaja bahwa mereka selalu diperhatikan oleh orang lain kemudia menjadi tidak berdasar. Pada saat inilah, remaja mulai dihadapkan dengan realita dan tantangan untuk menyesuaikan impian dan angan-angan mereka dengan kenyataan. Para remaja juga sering mengaggap diri mereka serba mampu, sehingga seringkali mereka terlihat “tidak memikirkan akibat” dari perbuatan mereka. Tindakan implusif sering dilakukan, sebagian dari mereka tidak sadar dan belum bisa memperhitungkan akibat jangka pendek atau jangka panjang. Remaja yang diberi kesempatan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka, akan tambah menjadi orang dewasa yang lebih berhati-hati, lebih percaya diri, dan mampu bertanggung jawab. Rasa percaya diri dan rasa tanggung jawab inilah yang sangat dibutuhkan sebagai dasar pembentukan jati diri positif pada remaja. Kelak, ia akan tumbuh dengan penilaian positif pada diri sendiri dan rasa hormat pada orang lain dan lingkungan. Bimbingan orang yang lebih tua sangat dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan bagaimana menghadapi masalah itu sebagai “seseorang yang baru”. Berbagai nasihat dan berbagai cara akan dicari untuk dicobanya. Remaja akan membayangkan apa yang akan dilakukan oleh para idolanya untuk menyelesaikan masalah seperti itu. Pemilihan idola ini juga akan menjadi sangat penting bagi remaja.[2]

c)        Dimensi Moral
Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar pembentukan nilai diri mereka. Para remaja mulai membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah populer yang berkenaan dengan lingkungan mereka, misalnya: politik kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dan lainnya. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangkan lebih banyak alternatif lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya kenyataan lain di luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya. Ia akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak. Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai dahulu dengan keadaan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan kenyataan yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap pemberontakan remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik. Pada masa remaja ia akan mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja. Konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar jika remaja tidak menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua atau pendidik sejak masa kanak-kanak akan sangat besar jika orang tua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai tersebut. Remaja tersebut akan mencari jawaban di luar lingkaran orang tua dan nilai yang dianutnya. Ini bisa menjadi berbahaya jika lingkungan baru memberi jawaban yang tidak diinginkan atau bertentangan dengan yang diberikan oleh orang tua. Konflik dengan orang tua mungkin akan mulai menajam.[3]

d)       Dimensi Kognitif
Perkembangan kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget (seorang ahli perkembangan kognitif) merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal operations). Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya.
Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir multi dimensi seperti ilmuwan. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka sendiri. Mereka juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan. Pada kenyataannya, di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) masih sangat banyak remaja (bahkan orang dewasa) yang belum mampu sepenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif operasional formal ini. Sebagian masih tertinggal pada tahap perkembangan sebelumnya. Semestinya, seorang remaja sudah harus mampu mencapai tahap pemikiran abstrak supaya saat mereka lulus sekolah menengah, mereka sudah biasa berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik.[4]
Stanley Hall adalah ahli pertama yang memandang perlu masa remaja diselidiki secara khusus, dan mengumpulkan bahan empiris.
Stanley Hall antara lain mengemukakan bahwa perkembangan psikis banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor fisiologi. Faktor-faktor fisiologi ditentukan oleh genetika disamping proses pematangan yang mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan. Sehingga dapat disimpulkan kurang berperannya lingkungan sosial budaya. Sebaliknya, ia juga mengemukakan bahwa masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak emosi dan ketidakseimbangan, yang tercakup dalam storm and stress. Dengan demikian remaja mudah terkena pengaruh oleh lingkungan. Remaja diombang-ambingkan oleh munculnya:
1)        Kekecewaan dan penderitaan
2)        Meningkatnya konflik, pertentangan-pertentangan, dan krisis penyesuaian
3)        Impian dan Khayalan
4)        Keterasingan dari kehidupan dewasa dan norma kebudayaan
5)        Menyadari banyaknya tuntutan dan harapan lingkungan terhadap remaja.[5]
Sedangkan yang dimaksud dengan juvenile andolesence adalah suatu perbuatan yang melanggar norma, aturan, atau hukum dalam masyarakat yang dilakukan pada usia remaja atau transisi masa anak-anak dan dewasa.

C.      Faktor Penyebab Kenakalan Remaja
Masa remaja sering dikenal dengan istilah masa pemberontakan. Pada masa-masa ini seorang anak yang baru mengalami masa pubertas seringkali menampilkan berbagai gejolak emosi, menarik dirinya dari keluarga, serta mengalami banyak masalah baik di rumah, sekolah ataupun lingkungan pertemanannya. Faktor pemicunya menurut sosiolog Kartono, antara lain adalah gagalnya remaja melewati masa transisinya, dari anak kecil menjadi dewasa, dan juga karena lemahnya pertahanan diri terhadap pengaruh dunia luar yang kurang baik. Akibatnya, para orang tua mengeluhkan perilaku anak-anaknya yang tidak dapat diatur, bahkan terkadang bertindak melawan mereka. Konflik keluarga, depresi, dan munculnya tindakan beresiko sangat umum terjadi pada masa remaja. Perilaku kenakalan remaja bermacam-macam mulai dari kenakalan ringan seperti membolos sekolah, melanggar peraturan, hingga kenakalan berat seperti perkelahian antar geng, seks bebas, dan pemakaian obat-obatan terlarang. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi timbulnya kenakalan remaja, faktor-faktor tersebut antara lain:
1.        Kurangnya sosialisasi dari orang tua ke anak mengenai nilai-nilai moral dan sosial.
Contohnya adalah perilaku yang ditampilkan orang tua (modeling) di rumah terhadap perilaku dan nilai-nilai anti sosial.
2.        Kurangnya pengawasan terhadap anak (baik aktivitas, pertemanan di sekolah ataupun di luar sekolah dan lainnya).
3.        Kurangnya disiplin yang diterapkan orang tua pada anak.
4.        Rendahnya kualitas hubungan orang tua dan anak.
5.        Tingginya konflik dan perilaku agresif yang terjadi dalam lingkungan keluarga.
6.        Kemiskinan dan kekerasan dalam lingkungan keluarga.
7.        Anak tinggal jauh dari orang tua dan tidak ada pengawasan dari figure otoritas lain.
8.        Perbedaan budaya tempat tinggal anak, misalnya pindah ke kota lain atau lingkungan baru.
9.        Adanya saudara kandung atau tiri yang menggunakan obat-obat terlarang atau melakukan kenakalan remaja.
Faktor lingkungan atau teman sebaya yang kurang baik juga ikut memicu timbulnya perilaku yang tidak baik pada diri remaja. Sekolah yang kurang menerapkan aturan yang ketat juga membuat remaja semakin rentan terkena efek pergaulan yang tidak baik.
Sementara M faisal Mariage konsultan psikologi remaja dari Asosiasi berbagi, menyatakan beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua untuk mencegah munculnya kenakalan pada remaja. Menurut Faisal, mengasuh anak yang memasuki usia remaja dapat diandaikan seperti bermain layangan, “Apabila orang tua menarik talinya terlalu dekat, layangan itu tidak akan bisa terbang, namun bila orang tua membiarkan talinya terlalu jauh, layangan tersebut akan putus karena angin yang kencang, ataupun hal lain seperti tersangkut di pohon”.
D.      Teori yang berhubungan dengan Pubertas dan Juvenile Andolesence
a.        Teori Kognitif
Teori ini merujuk pada teori stadium Piaget, dia mengemukakan walaupun sebagian besar orang tua mengetahui perubahan intelektual yang menyertai pertumbuhan fisik anak. Tapi kebanyakan dari mereka mungkin mengalami kesulitan dalam menjelaskan sifat perubahan tersebut. Piaget juga memandang bahwa perkembangan kognitif anak juga didominasi oleh prespektif biologi maturasi, dalam teorinya dia memandang anak sebagai partisipan aktif di dalam proses perkembangan ketimbang sebagai resipen aktif perkembangan biologis atau stimuli eksternal. Jelasnya, disini dia yakin bahwa anak harus dipandang seperti seorang ilmuwan yang sedang mencari jawaban dengan melakukan eksperimen terhadap dunia untuk melihat apa yang terjadi. Hal ini sesuai dengan kasus diatas, bahwa kenakalan remaja yang berupa merokok dan seks bebas merupakan bagian dari eksperimen anak tersebut untuk memenuhi rasa ingin tahunya.

b.        Teori Psikososial
Teori ini merujuk kepada teori Ericson, dia mengemukakan bahwa dalam fase ke-5 adalah periode anak muda atau masa yang sering disebut dengan masa pubertas atau masa remaja. Pada masa remaja, peran orang tua sebagai sumber perlindungan dan nilai utama mulai menurun, adapun peran lingkungan atau teman sebaya lebih tinggi. Pada tahap ini mereka ingin mencari identitas dalam bidang seksual, umur, dan kegiatan. Disini dorongan biologis memiliki arti penting, namun tekanan sosial dan kekuatan lingkungan memiliki dampak yang lebih besar. Salah satu elemen penting dari tingkatan teori psikososial adalah perkembangan persamaan ego bahwa perasaan sadar yang dialami remaja dikembangkan melalui interaksi sosial. Perkembangan ego selalu berubah berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang didapatkan dalam berinteraksi dengan orang lain. Hal ini terkait dengan kasus kenakalan remaja berupa merokok dan seks bebas terjadi karena proses interaksi dengan orang lain yang tidak menghasilkan sikap positif.

c.         Teori Psikoseksual
Teori perkembangan psikoseksual Sigmund Freud adalah salah satu teori yang paling terkenal, akan tetapi juga salah satu teori yang paling kontroversial. Freud percaya kepribadian yang berkembang melalui serangkaian tahapan masa kanak-kanak dimana mencari kesenangan energy dari id menjadi fokus pada area sensitif seksual tertentu. Energi psikoseksual atau libido digambarkan sebagai kekuatan pendorong di belakang perilaku.
Menurut Sigmun Freud, kepribadian sebagian besar dibentuk oleh usia lima tahun. Awal perkembangan berpengaruh besar dalam pembentukan kepribadian dan terus mempengaruhi perilaku di kemudian hari. Jika tahap-tahap psikoseksual selesai dengan sukses, hasilnya adalah kepribadian yang sehat. Jika masalah tertentu tidak diselesaikan pada tahap yang tepat, fiksasi dapat terjadi. Fiksasi adalah focus yang gigih pada tahap awal psikoseksual. Sampai konflik ini diselesaikan, individu akan tetap terjebak dalam tahap ini. Misalnya, seseorang yang terpaku pada tahap oral mungkin terlalu bergantung pada orang lain dan dapat mencari rangsangan oral melalui merokok, minum, atau makan.
Fase Oral
Pada tahap oral, sumber utama bayi interaksi terjadi melalui mulut, sehingga perakaran dan refleks mengisap adalah sangat penting. Mulut sangat penting untuk makan, dan bayi berasal kesenangan dari rangsangan oral melalui kegiatan memuaskan seperti mencicipi dan mengisap. Karena bayi sepenuhnya tergantung pada pengasuh (yang bertanggungjawab untuk member makan anak), bayi juga mengembangkan rasa kepercayaan dan kenyamanan melalui stimulasi oral.
Konflik utama pada tahap ini adalah proses penyapihan, anak harusmenjadi kurang bergantung pada para pengasuh. Jika fiksasi terjadi pada tahap ini, Freud percaya bahwa individu akan memiliki masalah ketergantungan atau agresi. Fiksasi oral dapat mengakibatkan masalah dengan minum, merokok, makan, atau menggigit kuku.
Fase Anal

E.       Hubungan Pubertas dan Juvenile Andolesence dengan Pembelajaran
Bertumpu pada kasus dan penjelasan yang telah disebutkan diatas, dapat diidentifikasi bahwa pubertas adalah suatu masa dimana seorang anak mengalami perubahan fisik, psikis, dan pematangan fungsi seksual. Di masa ini rasa ingin tahu seseorang akan berbagai hal mulai bermunculan, hal ini didukung dengan perkembangan yang dialaminya di berbagai sisi. Karena anggapan yang tidak sepenuhnya benar pada masa itu, bahwa seseorang yang telah masuk pada masa pubertas dianggap sebagai seseorang yang sudah dewasa, anggapan ini memicu seseorang yang telah masuk masa pubertas bisa bertindak seenaknya dalam menyalurkan rasa ingin tahunya. Penyaluran rasa ingin tahu seorang anak tanpa pembekalan pengetahuan yang cukup serta tanpa kontrol dari orang tuanya akan menjerumuskan seorang remaja ke dalam hal-hal yang negatif semisal merokok dan seks bebas seperti yang marak terjadi pada akhir-akhir ini yang biasa kita sebut dengan kenakalan remaja.
Hal tersebut tentunya akan berdampak buruk pada proses pembelajaran. Kita bisa bayangkan, remaja yang menghabiskan waktu pencarian jati dirinya dengan hal tersebut akan mulai mengesampingkan pendidikannya. Karena sudah teracuni dengan rokok, seorang remaja biasanya akan cenderung merasa nyaman dengan situasi tersebut dan tidak memikirkan yang lain. Dia akan mulai berani membolos dan menghabiskan setiap detik hidupnya untuk menghisap rokok. Padahal, jika rasa ingin tahu tersebut dipandang sebagi sebuah pengetahuan bukan sebuah penyaluran hal ini tentunya akan berdampak baik bagi mereka. Penyaluran bukan dengan melakukannya tetapi dengan mencari ilmu dari apa yang ingin ia ketahui tersebut.[6]
Rasa ingin tahu itu akan lebih baik jika ia terapkan di dalam pendidikannya, bukan di dalam pergaulannya. Fikirkan saja, jika kita menyalurkan rasa ingin tahu kita ke dalam bentuk pelajaran (rasa ingin tahu di salurkan ke pelajaran) tentunya hal tersebut akan lebih bermanfaat. Kita ingin tahu tentang seks kita bisa tanya hal tersebut kepada guru biologi. Tentunya guru juga harus peka jika ada salah satu muridnya menanyakan tentang hal tersebut, jangan justru memandangnya sebagai suatu hal yang tabu, kita harus sadar bahwa anak didik kita sedang berada pada tahap dimana pembekalan mengenai hal tersebut sangatlah penting.
Dalam hal ini sebagai seorang pendidik kita juga harus peka, bahwa pada masa puber, perubahan di berbagai elemen dapat memicu perubahan tingkah laku peserta didik yang mempunyai dampak cukup serius dalam pendidikannya. Biasanya jika perubahan pada masa puber sudah mulai terjadi, anak-anak biasanya mulai menarik diri dari teman-teman dan dari berbagai kegiatan keluarga, juga sering bertengkar dengan sesama teman bermain. Anak puber lebih sering melamun, dan mulai bereksperimen seks melalui masturbasi. Dengan datangnya masa puber juga, anak mulai merasa bosan dengan sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan atau hobi yang dilakukan pada masa sebelumnya. Oleh karena itu, pada masa puber ini biasanya terjadi penurunan prestasi belajar. Anak puber juga sering tidak mau kerja sama, sering membantah dan menentang, Hal ini tentunya berdampak pada pembentukan kelompok diskusi yang biasanya banyak dibentuk di dalam proses pembelajaran. Biasanya mereka cenderung nyaman pada satu orang. Dan jika disuruh untuk bekerja sama dengan orang lain hasilnya tidak maksimal dengan alasan ketidak cocokan. Masa pubertas juga menyebabkan hilangnya kepercayaan diri seebagai akibat dari terjadinya perubahan fisik yang tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan, terlebih-lebih pada anak perempuan yang cenderung sensitif, Hal ini mengakibatkan anak merasa rendah diri, lebih-lebih bagi anak yang sering mendapat kritik yang bertubi-tubi tentang dirinya. Hal tersebut tentunya juga akan berdampak buruk bagi pendidikannya. Mereka cenderung merasa malu untuk bersaing dengan teman-temanya yang lain dalam berprestasi. Mereka tidak mau menjadi pusat perhatian karena kekurangan fisiknya. Misalnya ingin mengemukakan pendapat saat diskusi mereka cenderung berfikiran negatif “nanti kalau saya mengacungkan tangan dan mengeluarkan pendapat, teman-teman akan memperhatikan saya”. Sehingga keaktifan mereka dalam proses pembelajaran cenderung kurang.[7]
Dengan pengaruh-pengaruh diatas dapat menyebabkan prestasi siswa disekolah menjadi menurun, karena dalam masa puberts anak akan lebih malas dan sibuk dengan urusan-urusanya sendiri karena keegoisan yang terjadi pada masa pubertas tersebut.Anak suka menyendiri, mudah jemu dan kurang percaya diri sangat berpengaruh besar dalam prestasi siswa disekolah. Anak akan kurang bertanya, kurang yakin dengan kemampuannya bahkan anak akan mudah bosan belajar disekolah.

F.       Cara Mengatasi Kenakalan Remaja
1.        Selektif dalam memilih teman
Pilih teman yang baik perilaku dan perangainya, punya prinsip kuat, pilih yang menghargai dirinya sendiri, dan pastikan dia adalah orang yang dapat dipercaya.
2.        Jeli dalam memilih pendidikan untuk anak
Memberikan pendidikan yang sesuai merupakan salah satu tugas orang tua kepada anak, agar anak dapat memperoleh pendidikan yang sesuai, pilihkanlah sekolah yang bermutu, dalam memilih pendidikan untuk anak orang tua harus menyesuaikannya terhadap kemauan anak. Ketika anak telah berusia 17 tahun atau 18 tahun yang merupakan akhir masa remaja, anak mulai akan memilih perguruan tinggi. Orang tua hendaknya membantu memberikan pengarahan agan masa depan si anak berbahagia. Arahkanlah agar anak memilih jurusan sesuai dengan kesenangan dan bakat anak, bukan semata-mata karena kesenangan orang tua. Berikan kepercayaan anak untuk memilih pendidikannya dan orang tua mengawasi anak dan jangan terlalu membatasi selama itu masih dalam batas kewajaran.


[1]Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hal. 287.
[2]Sri Esti W.D, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT Grasindo, 2002), hal. 85.
[3]M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998), hal. 115.
[4]F.J Monks, Psikologi Perkembangan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), hal. 74.
[5]Koestor Partowisastro, Dinamika dalam Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Erlangga, 2004), hal. 125.
[6] Kartini Kartono, Psikologi Sosial 2: Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rajawali Press, 1986), hal. 37.
[7] Anita Woolfolk, Educational Psychology: Active Learning Edition, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 65.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar