KENAKALAN
REMAJA
MAKALAH
Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Psikologi
Pendidikan
Yang
dibina oleh Germino Wahyu
Disusun
Oleh:
Kelompok
1
1.
Risma Nur Izzati (17205153002)
2.
Lina Jinatul Falah (172051530
3.
Sinta Ika Windarwati (172051530
4.
Kusna Desita Sari (172051530
5.
Gevy Wulandari (172051530
6.
Hamiyatus Sariroh (172051530
7.
Indri Nofiyanti (172051530
JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
TULUNGAGUNG
Maret 2016
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
TULUNGAGUNG
Maret 2016
KATA
PENGANTAR
Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt.yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya
kepada kita semua. Sholawat serta
salam semoga tetap terlimpahkan
kepada junjungan besar kita Nabi Muhammad saw.dan semoga kita akan selalu
mendapat syafaatnya baik didunia maupun di akhirat kelak.
Alhamdulillah, dengan pertolongan dan hidayah-Nya penulis dapat
menyusun makalah ini untuk memenuhi
tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan yang berjudul KENAKALAN REMAJA.
Kami menyadari tanpa bantuan dari berbagai pihak penulisan makalah ini
tidak mungkin terlaksana dengan baik.Oleh karena itu penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada :
1.
Dr. Mafthukin,
M.Ag. selaku Rektor IAIN Tulungagung yang telah memberikan
kesempatan kepada kami untuk menimba ilmu di IAIN Tulungagung ini,
2.
Germino Wahyu
selaku Dosen pengampu mata kuliah Psikologi Pendidikan yang telah membimbing dan mengarahkan kami dengan sabar agar
mempunyai pemahaman yang benar mengenai mata kuliah ini,
3.
Semua pihak
yang telah membantu menyelesaikan penyusunan
makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
membuahkan ilmu yang maslahahfiidinniwadunyawalakhirah.
Tulungagung, 01 Maret 2016
Penulis
DAFTAR ISI
COVER............................................................................................................
KATA PENGANTAR..................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang..................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah................................................................................. 2
C.
Tujuan Pembahasan.............................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Masalah Kenakalan Remaja.................................................................. 12
B.
Pengertian Pubertas dan Juvenile Andolesence
C.
Faktor Penyebab Kenakalan Remaja
D.
Teori yang berhubungan dengan Pubertas dan Juvenile Andolesence
E.
Hubungan Pubertas dan Juvenile Andolesence dengan
Pembelajaran
F.
Cara Mengatasi Kenakalan Remaja
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan........................................................................................... 15
B.
Saran..................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Terjadinya kenakalan remaja sering kita jumpai, berbagaimacam penyebab
baik internal maupun eksternal yang mempengaruhi terjadinya kenakalan remaja.
Tidak di pungkiri bahwa setiap remaja memiliki jiwa ingin tahu, jadi yang
terbaik,dan keinginan untuk membanggakan diri. Oleh sebab itu pada masa
transisi adalah titik awal terbentuknya psikis seorang remaja yang bias
dikatakan “bebas”
Hal hal seperti pembelajaran membosankan serta masalah dirumah (broken
home) adalah satu dari sekian banyak penyebab kenakalan remaja yang umumnya
dialami oleh seorang pelajar yang mempunyai sifat mudah terpengaruh yang sangat
tinggi.
Dengan motivasi dari lingkungan sekolah (teman), kasih sayang,
kepedulian,dan pendalaman imu agamadari keluarga kenakalan remaja akan bias
dihindari. Dalam penyusunan makalah ini saya akan membahas penyebab,dampak,dan
cara mengatasi/menghindari terjadinya kenakalan remaja.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
masalah kenakalan remaja?
2.
Bagaimana
pengertian pubertas dan juvenile andolesence?
3.
Bagaimana
faktor penyebab kenakalan remaja?
4.
Bagaimana
teori yang berhubungan dengan pubertas dan juvenile andolesence?
5.
Bagaimana
hubungan pubertas dan juvenile andolesence dengan pembelajaran?
6.
Bagaimana
cara mengatasi kenakalan remaja?
C. Tujuan Pembahasan
2.
Untuk
menjelaskan pengertian pubertas dan juvenile andolesence.
3.
Untuk
menjelaskan faktor penyebab kenakalan remaja.
4.
Untuk
menjelaskan teori yang berhubungan dengan pubertas dan juvenile andolesence.
5.
Untuk
menjelaskan hubungan pubertas dan juvenile andolesence dengan pembelajaran
6.
Untuk
menjelaskan cara mengatasi kenakalan remaja.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masalah Kenakalan Remaja
Di masa modern
ini, merokok merupakan suatu pemandangan yang tidak asing. Kebiasaan merokok
dianggap dapat memberikan kenikmatan bagi si perokok, namun di lain pihak dapat
menimbulkan dampak buruk bagi si perokok sendiri maupun orang-orang
disekitarnya. Berbagai kandungan zat yang terdapat di dalam rokok memberikan
dampak negatif bagi tubuh penghisapnya. Beberapa motivasi melatarbelakangi
seseorang merokok adalah untuk medapatkan pengakuan (anticipatory beliefs), untuk menghilangkan kekecewaan (reliefing beliefs), dan menganggap
perbuatannya tersebut tidak melanggar norma (permissive
beliefs atau fasilitative). Hal ini sejalan dengan kegiatan merokokyang
dilakukan oleh remaja yang biasanya dilakukan di depan orang lain, terutama
dilakukan di depan kelompoknya karena mereka sangat tertarik kepada kelompok
sebayanya atau dengan kata lain terikat dengan kelompoknya. Sampai saat ini
masalah seksualitas selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Hal
ini mungkin permasalahan seks bebas seksual telah menjadi suatu hal yang sangat
melekat pada diri manusia. Seksualitas tidak bisa dihindari oleh makhluk hidup,
karena dengan seks makhluk hidup dapat terus bertahan menjaga kelestarian
keturunannya.
Pada masa remaja
rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting dalam pembentukan
hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis. Padahal pada masa remaja
informasi masalah seksual sudah seharusnya mulai diberikan, agar remaja tidak
mencari informasi dari orang lain atau sumber-sumber yang tidak jelas atau
bahkan keliru sama sekali.
Pemberian
informasi masalah seksual menjadi penting terlebih lagi mengingat remaja berada
dalam potensi seksual yang aktif, karena berkaitan dengan dorongan seksual
mereka sendiri. Tentu saja hal tersebut akan sangat berbahaya bagi perkembangan
jiwa remaja bila ia tidak memiliki pengetahuan dan informasi yang tepat. Fakta
menunjukkan bahwa sebagian besar remaja kita tidak mengetahui dampak dari
perilaku seksual yang mereka lakukan, seringkali remaja sangat tidak matang
untuk melakukan hubungan seksual terlebih lagi jika harus menanggung resiko
dari hubungan seksual tersebut.
B. Pengertian Pubertas dan Juvenile Andolesence
Pubertas merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari suatu tahapan penting dalam masa serta
proses tumbuh kembang anak. Masa pubertas anak juga bisa dikatakan sebagai suatu
masa transisi atau masa peralihan dari masa anak-anak ke masa menuju remaja dan
juga dewasa. Pubertas adalah masa ketika seorang anak mengalami perubahan
fisik, psikis, dan pematangan fungsi seksual. Masa pubertas dalam kehidupan
kita biasanya dimulai saat berumur delapan hingga sepuluh tahun dan berakhir
lebih kurang di usia 15 hingga 16 tahun.[1]
Dalam masa pubertas terdapat beberapa
dimensi yang berkaitan dengan perkembangan antara lain:
a)
Dimensi Biologis
Pada saat seorang anak memasuki masa pubertas yang
ditandai dengan menstruasi pertama pada remaja putri ataupun perubahan suara
pada remaja putra, secara biologis dia mengalami perubahan yang sangat besar.
Pubertas menjadikan seorang anak tiba-tiba memiliki kemampuan untuk
bereproduksi. Pada masa pubertas, hormon seseorang menjadi aktif dalam
memproduksi dua jenis hormon (gonadothrophins
atau gonadothrophic hormones) yang
berhubungan dengan pertumbuhan, dari hormon-hormon tersebut merubah sistem
biologis seorang anak.
b) Dimensi Psikologis
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak.
Pada masa ini mood (suasana hati)
bisa berubah dengan sangat cepat. Remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit
untuk berubah dari mood “senang luar
biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam.
Untuk hal yang sama, perubahan mood
(swing) yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban
pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang mudah berubah-ubah
dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah
psikologis. Dalam hal kesadaran diri, pada masa ini remaja mengalami perubahan
yang dramatis dalam kesadaran diri mereka (self-awareness).
Mereka sangat rentan terhadap pendapat orang lain karena mereka menganggap
bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti mereka
mengagumi atau mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu membuat remaja
sangat memperhatikan diri mereka dan citra yang direfleksikan (self-image). Remaja cenderung untuk
mengaggap diri mereka sangat unik dan bahkan percaya keunikan mereka akan
berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran. Renaja putri akan bersolek berjam-jam
dihadapan cermin karena ia percaya orang akan melirik dan tertarik pada
kecantikannya, sedang remaja putra akan membayangkan dirinya dikagumi lawan
jenisnya jika ia terlihat unik dan hebat. Pada usia 16 tahun keatas,
keesentrikan remaja akan berkurang dengan sendirinya jika ia sering dihadapkan
dengan dunia nyata. Pada saat itu, remaja akan mulai sadar bahwa orang lain
ternyata memiliki dunia tersendiri dan tidak selalu sama dengan yang dihadapi
ataupun dipikirkannya, Anggapan remaja bahwa mereka selalu diperhatikan oleh
orang lain kemudia menjadi tidak berdasar. Pada saat inilah, remaja mulai
dihadapkan dengan realita dan tantangan untuk menyesuaikan impian dan
angan-angan mereka dengan kenyataan. Para remaja juga sering mengaggap diri
mereka serba mampu, sehingga seringkali mereka terlihat “tidak memikirkan
akibat” dari perbuatan mereka. Tindakan implusif sering dilakukan, sebagian
dari mereka tidak sadar dan belum bisa memperhitungkan akibat jangka pendek
atau jangka panjang. Remaja yang diberi kesempatan untuk mempertanggungjawabkan
perbuatan mereka, akan tambah menjadi orang dewasa yang lebih berhati-hati,
lebih percaya diri, dan mampu bertanggung jawab. Rasa percaya diri dan rasa
tanggung jawab inilah yang sangat dibutuhkan sebagai dasar pembentukan jati
diri positif pada remaja. Kelak, ia akan tumbuh dengan penilaian positif pada
diri sendiri dan rasa hormat pada orang lain dan lingkungan. Bimbingan orang
yang lebih tua sangat dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan bagaimana menghadapi
masalah itu sebagai “seseorang yang baru”. Berbagai nasihat dan berbagai cara
akan dicari untuk dicobanya. Remaja akan membayangkan apa yang akan dilakukan
oleh para idolanya untuk menyelesaikan masalah seperti itu. Pemilihan idola ini
juga akan menjadi sangat penting bagi remaja.[2]
c)
Dimensi Moral
Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai
bertanya-tanya mengenai berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya
sebagai dasar pembentukan nilai diri mereka. Para remaja mulai membuat
penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah populer yang berkenaan dengan
lingkungan mereka, misalnya: politik kemanusiaan, perang, keadaan sosial, dan
lainnya. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan
absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Remaja mulai
mempertanyakan keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangkan lebih banyak
alternatif lainnya. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan
pengamatan keluar dan membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan
dan ditanamkan kepadanya. Sebagian besar para remaja mulai melihat adanya
kenyataan lain di luar dari yang selama ini diketahui dan dipercayainya. Ia
akan melihat bahwa ada banyak aspek dalam melihat hidup dan beragam jenis
pemikiran yang lain. Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali
membingungkan, terutama jika ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan
tertentu saja selama masa kanak-kanak. Kemampuan berpikir dalam dimensi moral (moral reasoning) pada remaja berkembang
karena mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara
yang mereka percayai dahulu dengan keadaan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu
merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan kenyataan yang
baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap pemberontakan remaja
terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat.
Misalnya, jika sejak kecil pada seorang anak diterapkan sebuah nilai moral yang
mengatakan bahwa korupsi itu tidak baik. Pada masa remaja ia akan
mempertanyakan mengapa dunia sekelilingnya membiarkan korupsi itu tumbuh subur
bahkan sangat mungkin korupsi itu dinilai baik dalam suatu kondisi tertentu.
Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai bagi sang remaja. Konflik
nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar jika
remaja tidak menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai
nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua atau pendidik sejak masa kanak-kanak
akan sangat besar jika orang tua atau pendidik tidak mampu memberikan
penjelasan yang logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung
penerapan nilai-nilai tersebut. Remaja tersebut akan mencari jawaban di luar
lingkaran orang tua dan nilai yang dianutnya. Ini bisa menjadi berbahaya jika
lingkungan baru memberi jawaban yang tidak diinginkan atau bertentangan dengan
yang diberikan oleh orang tua. Konflik dengan orang tua mungkin akan mulai
menajam.[3]
d) Dimensi Kognitif
Perkembangan
kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget (seorang ahli perkembangan
kognitif) merupakan periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan
operasi formal (period of formal operations).
Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam
usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir
remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat
membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat
atau hasilnya.
Kapasitas berpikir
secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir multi
dimensi seperti ilmuwan. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya,
tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan
pemikiran mereka sendiri. Mereka juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa
lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan
rencana untuk masa depan. Pada kenyataannya, di negara-negara berkembang
(termasuk Indonesia) masih sangat banyak remaja (bahkan orang dewasa) yang
belum mampu sepenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif operasional formal
ini. Sebagian masih tertinggal pada tahap perkembangan sebelumnya. Semestinya,
seorang remaja sudah harus mampu mencapai tahap pemikiran abstrak supaya saat
mereka lulus sekolah menengah, mereka sudah biasa berpikir kritis dan mampu
untuk menganalisis masalah dan mencari solusi terbaik.[4]
Stanley Hall
adalah ahli pertama yang memandang perlu masa remaja diselidiki secara khusus,
dan mengumpulkan bahan empiris.
Stanley Hall
antara lain mengemukakan bahwa perkembangan psikis banyak dipengaruhi oleh
faktor-faktor fisiologi. Faktor-faktor fisiologi ditentukan oleh genetika disamping
proses pematangan yang mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan. Sehingga dapat
disimpulkan kurang berperannya lingkungan sosial budaya. Sebaliknya, ia juga
mengemukakan bahwa masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak emosi dan
ketidakseimbangan, yang tercakup dalam storm
and stress. Dengan demikian remaja mudah terkena pengaruh oleh lingkungan.
Remaja diombang-ambingkan oleh munculnya:
1)
Kekecewaan
dan penderitaan
2)
Meningkatnya
konflik, pertentangan-pertentangan, dan krisis penyesuaian
3)
Impian
dan Khayalan
4)
Keterasingan
dari kehidupan dewasa dan norma kebudayaan
5)
Menyadari
banyaknya tuntutan dan harapan lingkungan terhadap remaja.[5]
Sedangkan yang dimaksud dengan juvenile
andolesence adalah suatu perbuatan yang melanggar norma, aturan, atau hukum
dalam masyarakat yang dilakukan pada usia remaja atau transisi masa anak-anak
dan dewasa.
C. Faktor Penyebab Kenakalan Remaja
Masa remaja sering dikenal dengan istilah masa pemberontakan.
Pada masa-masa ini seorang anak yang baru mengalami masa pubertas seringkali
menampilkan berbagai gejolak emosi, menarik dirinya dari keluarga, serta
mengalami banyak masalah baik di rumah, sekolah ataupun lingkungan
pertemanannya. Faktor pemicunya menurut sosiolog Kartono, antara lain adalah
gagalnya remaja melewati masa transisinya, dari anak kecil menjadi dewasa, dan
juga karena lemahnya pertahanan diri terhadap pengaruh dunia luar yang kurang
baik. Akibatnya, para orang tua mengeluhkan perilaku anak-anaknya yang tidak
dapat diatur, bahkan terkadang bertindak melawan mereka. Konflik keluarga,
depresi, dan munculnya tindakan beresiko sangat umum terjadi pada masa remaja.
Perilaku kenakalan remaja bermacam-macam mulai dari kenakalan ringan seperti
membolos sekolah, melanggar peraturan, hingga kenakalan berat seperti
perkelahian antar geng, seks bebas, dan pemakaian obat-obatan terlarang. Ada
banyak faktor yang melatarbelakangi timbulnya kenakalan remaja, faktor-faktor
tersebut antara lain:
1.
Kurangnya sosialisasi dari orang tua ke anak
mengenai nilai-nilai moral dan sosial.
Contohnya adalah perilaku yang ditampilkan orang tua (modeling) di rumah terhadap perilaku
dan nilai-nilai anti sosial.
2.
Kurangnya pengawasan terhadap anak (baik
aktivitas, pertemanan di sekolah ataupun di luar sekolah dan lainnya).
3.
Kurangnya disiplin yang diterapkan orang tua
pada anak.
4.
Rendahnya kualitas hubungan orang tua dan anak.
5.
Tingginya konflik dan perilaku agresif yang
terjadi dalam lingkungan keluarga.
6.
Kemiskinan dan kekerasan dalam lingkungan
keluarga.
7.
Anak tinggal jauh dari orang tua dan tidak ada
pengawasan dari figure otoritas lain.
8.
Perbedaan budaya tempat tinggal anak, misalnya
pindah ke kota lain atau lingkungan baru.
9.
Adanya saudara kandung atau tiri yang
menggunakan obat-obat terlarang atau melakukan kenakalan remaja.
Faktor lingkungan atau teman sebaya yang kurang baik juga
ikut memicu timbulnya perilaku yang tidak baik pada diri remaja. Sekolah yang
kurang menerapkan aturan yang ketat juga membuat remaja semakin rentan terkena
efek pergaulan yang tidak baik.
Sementara M faisal Mariage konsultan psikologi remaja dari
Asosiasi berbagi, menyatakan beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua untuk
mencegah munculnya kenakalan pada remaja. Menurut Faisal, mengasuh anak yang
memasuki usia remaja dapat diandaikan seperti bermain layangan, “Apabila orang
tua menarik talinya terlalu dekat, layangan itu tidak akan bisa terbang, namun
bila orang tua membiarkan talinya terlalu jauh, layangan tersebut akan putus
karena angin yang kencang, ataupun hal lain seperti tersangkut di pohon”.
D.
Teori
yang berhubungan dengan Pubertas dan Juvenile Andolesence
a.
Teori
Kognitif
Teori ini merujuk pada teori stadium Piaget, dia mengemukakan
walaupun sebagian besar orang tua mengetahui perubahan intelektual yang
menyertai pertumbuhan fisik anak. Tapi kebanyakan dari mereka mungkin mengalami
kesulitan dalam menjelaskan sifat perubahan tersebut. Piaget juga memandang
bahwa perkembangan kognitif anak juga didominasi oleh prespektif biologi
maturasi, dalam teorinya dia memandang anak sebagai partisipan aktif di dalam
proses perkembangan ketimbang sebagai resipen aktif perkembangan biologis atau
stimuli eksternal. Jelasnya, disini dia yakin bahwa anak harus dipandang
seperti seorang ilmuwan yang sedang mencari jawaban dengan melakukan eksperimen
terhadap dunia untuk melihat apa yang terjadi. Hal ini sesuai dengan kasus
diatas, bahwa kenakalan remaja yang berupa merokok dan seks bebas merupakan
bagian dari eksperimen anak tersebut untuk memenuhi rasa ingin tahunya.
b.
Teori
Psikososial
Teori ini merujuk kepada teori Ericson, dia mengemukakan bahwa
dalam fase ke-5 adalah periode anak muda atau masa yang sering disebut dengan
masa pubertas atau masa remaja. Pada masa remaja, peran orang tua sebagai
sumber perlindungan dan nilai utama mulai menurun, adapun peran lingkungan atau
teman sebaya lebih tinggi. Pada tahap ini mereka ingin mencari identitas dalam
bidang seksual, umur, dan kegiatan. Disini dorongan biologis memiliki arti
penting, namun tekanan sosial dan kekuatan lingkungan memiliki dampak yang
lebih besar. Salah satu elemen penting dari tingkatan teori psikososial adalah
perkembangan persamaan ego bahwa perasaan sadar yang dialami remaja
dikembangkan melalui interaksi sosial. Perkembangan ego selalu berubah
berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang didapatkan dalam berinteraksi
dengan orang lain. Hal ini terkait dengan kasus kenakalan remaja berupa merokok
dan seks bebas terjadi karena proses interaksi dengan orang lain yang tidak
menghasilkan sikap positif.
c.
Teori
Psikoseksual
Teori perkembangan psikoseksual Sigmund Freud adalah salah
satu teori yang paling terkenal, akan tetapi juga salah satu teori yang paling
kontroversial. Freud percaya kepribadian yang berkembang melalui serangkaian
tahapan masa kanak-kanak dimana mencari kesenangan energy dari id menjadi fokus
pada area sensitif seksual tertentu. Energi psikoseksual atau libido
digambarkan sebagai kekuatan pendorong di belakang perilaku.
Menurut Sigmun Freud, kepribadian sebagian besar dibentuk
oleh usia lima tahun. Awal perkembangan berpengaruh besar dalam pembentukan
kepribadian dan terus mempengaruhi perilaku di kemudian hari. Jika tahap-tahap
psikoseksual selesai dengan sukses, hasilnya adalah kepribadian yang sehat.
Jika masalah tertentu tidak diselesaikan pada tahap yang tepat, fiksasi dapat
terjadi. Fiksasi adalah focus yang gigih pada tahap awal psikoseksual. Sampai
konflik ini diselesaikan, individu akan tetap terjebak dalam tahap ini.
Misalnya, seseorang yang terpaku pada tahap oral mungkin terlalu bergantung
pada orang lain dan dapat mencari rangsangan oral melalui merokok, minum, atau
makan.
Fase Oral
Pada tahap oral, sumber utama bayi interaksi
terjadi melalui mulut, sehingga perakaran dan refleks mengisap adalah sangat
penting. Mulut sangat penting untuk makan, dan bayi berasal kesenangan dari
rangsangan oral melalui kegiatan memuaskan seperti mencicipi dan mengisap.
Karena bayi sepenuhnya tergantung pada pengasuh (yang bertanggungjawab untuk
member makan anak), bayi juga mengembangkan rasa kepercayaan dan kenyamanan
melalui stimulasi oral.
Konflik utama pada tahap ini adalah proses
penyapihan, anak harusmenjadi kurang bergantung pada para pengasuh. Jika
fiksasi terjadi pada tahap ini, Freud percaya bahwa individu akan memiliki
masalah ketergantungan atau agresi. Fiksasi oral dapat mengakibatkan masalah
dengan minum, merokok, makan, atau menggigit kuku.
Fase Anal
E.
Hubungan Pubertas dan Juvenile Andolesence
dengan Pembelajaran
Bertumpu pada kasus dan penjelasan yang telah
disebutkan diatas, dapat diidentifikasi bahwa pubertas adalah suatu masa dimana
seorang anak mengalami perubahan fisik, psikis, dan pematangan fungsi
seksual. Di masa ini rasa ingin tahu
seseorang akan berbagai hal mulai bermunculan, hal ini didukung dengan
perkembangan yang dialaminya di berbagai sisi. Karena anggapan yang tidak
sepenuhnya benar pada masa itu, bahwa seseorang yang telah masuk pada masa
pubertas dianggap sebagai seseorang yang sudah dewasa, anggapan ini memicu
seseorang yang telah masuk masa pubertas bisa bertindak seenaknya dalam
menyalurkan rasa ingin tahunya. Penyaluran rasa ingin tahu seorang anak tanpa
pembekalan pengetahuan yang cukup serta tanpa kontrol dari orang tuanya akan
menjerumuskan seorang remaja ke dalam hal-hal yang negatif semisal merokok dan
seks bebas seperti yang marak terjadi pada akhir-akhir ini yang biasa kita
sebut dengan kenakalan remaja.
Hal tersebut tentunya akan berdampak buruk pada
proses pembelajaran. Kita bisa bayangkan, remaja yang menghabiskan waktu
pencarian jati dirinya dengan hal tersebut akan mulai mengesampingkan
pendidikannya. Karena sudah teracuni dengan rokok, seorang remaja biasanya akan
cenderung merasa nyaman dengan situasi tersebut dan tidak memikirkan yang lain.
Dia akan mulai berani membolos dan menghabiskan setiap detik hidupnya untuk
menghisap rokok. Padahal, jika rasa ingin tahu tersebut dipandang sebagi sebuah
pengetahuan bukan sebuah penyaluran hal ini tentunya akan berdampak baik bagi
mereka. Penyaluran bukan dengan melakukannya tetapi dengan mencari ilmu dari
apa yang ingin ia ketahui tersebut.[6]
Rasa ingin tahu itu akan lebih baik jika ia terapkan
di dalam pendidikannya, bukan di dalam pergaulannya. Fikirkan saja, jika kita
menyalurkan rasa ingin tahu kita ke dalam bentuk pelajaran (rasa ingin tahu di
salurkan ke pelajaran) tentunya hal tersebut akan lebih bermanfaat. Kita ingin
tahu tentang seks kita bisa tanya hal tersebut kepada guru biologi. Tentunya
guru juga harus peka jika ada salah satu muridnya menanyakan tentang hal
tersebut, jangan justru memandangnya sebagai suatu hal yang tabu, kita harus
sadar bahwa anak didik kita sedang berada pada tahap dimana pembekalan mengenai
hal tersebut sangatlah penting.
Dalam hal ini sebagai seorang pendidik kita juga harus
peka, bahwa pada masa puber, perubahan di berbagai elemen dapat memicu
perubahan tingkah laku peserta didik yang mempunyai dampak cukup serius dalam
pendidikannya. Biasanya jika perubahan pada masa puber sudah mulai terjadi,
anak-anak biasanya mulai menarik diri dari teman-teman dan dari berbagai
kegiatan keluarga, juga sering bertengkar dengan sesama teman bermain. Anak
puber lebih sering melamun, dan mulai bereksperimen seks melalui masturbasi. Dengan
datangnya masa puber juga, anak mulai merasa bosan dengan sesuatu yang
berhubungan dengan kegiatan atau hobi yang dilakukan pada masa sebelumnya. Oleh
karena itu, pada masa puber ini biasanya terjadi penurunan prestasi belajar. Anak
puber juga sering tidak mau kerja sama, sering membantah dan menentang, Hal ini
tentunya berdampak pada pembentukan kelompok diskusi yang biasanya banyak
dibentuk di dalam proses pembelajaran. Biasanya mereka cenderung nyaman pada
satu orang. Dan jika disuruh untuk bekerja sama dengan orang lain hasilnya
tidak maksimal dengan alasan ketidak cocokan. Masa pubertas juga menyebabkan hilangnya
kepercayaan diri seebagai akibat dari terjadinya perubahan fisik yang tidak
sesuai dengan apa yang mereka harapkan, terlebih-lebih pada anak perempuan yang
cenderung sensitif, Hal ini mengakibatkan anak merasa rendah diri, lebih-lebih
bagi anak yang sering mendapat kritik yang bertubi-tubi tentang dirinya. Hal
tersebut tentunya juga akan berdampak buruk bagi pendidikannya. Mereka
cenderung merasa malu untuk bersaing dengan teman-temanya yang lain dalam
berprestasi. Mereka tidak mau menjadi pusat perhatian karena kekurangan
fisiknya. Misalnya ingin mengemukakan pendapat saat diskusi mereka cenderung
berfikiran negatif “nanti kalau saya mengacungkan tangan dan mengeluarkan
pendapat, teman-teman akan memperhatikan saya”. Sehingga keaktifan mereka dalam
proses pembelajaran cenderung kurang.[7]
Dengan pengaruh-pengaruh
diatas dapat menyebabkan prestasi siswa disekolah menjadi menurun, karena dalam
masa puberts anak akan lebih malas dan sibuk dengan urusan-urusanya sendiri
karena keegoisan yang terjadi pada masa pubertas tersebut.Anak suka menyendiri,
mudah jemu dan kurang percaya diri sangat berpengaruh besar dalam prestasi
siswa disekolah. Anak akan kurang bertanya, kurang yakin dengan kemampuannya
bahkan anak akan mudah bosan belajar disekolah.
F.
Cara Mengatasi
Kenakalan Remaja
1.
Selektif dalam memilih teman
Pilih
teman yang baik perilaku dan perangainya, punya prinsip kuat, pilih yang
menghargai dirinya sendiri, dan pastikan dia adalah orang yang dapat dipercaya.
2.
Jeli dalam memilih pendidikan untuk anak
Memberikan
pendidikan yang sesuai merupakan salah satu tugas orang tua kepada anak, agar anak
dapat memperoleh pendidikan yang sesuai, pilihkanlah sekolah yang bermutu,
dalam memilih pendidikan untuk anak orang tua harus menyesuaikannya terhadap
kemauan anak. Ketika anak telah berusia 17 tahun atau 18 tahun yang merupakan
akhir masa remaja, anak mulai akan memilih perguruan tinggi. Orang tua
hendaknya membantu memberikan pengarahan agan masa depan si anak berbahagia.
Arahkanlah agar anak memilih jurusan sesuai dengan kesenangan dan bakat anak,
bukan semata-mata karena kesenangan orang tua. Berikan kepercayaan anak untuk
memilih pendidikannya dan orang tua mengawasi anak dan jangan terlalu membatasi
selama itu masih dalam batas kewajaran.
[1]Syamsu Yusuf, Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hal. 287.
[2]Sri Esti W.D, Psikologi
Pendidikan, (Jakarta: PT Grasindo, 2002), hal. 85.
[3]M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998), hal. 115.
[4]F.J Monks, Psikologi
Perkembangan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), hal. 74.
[5]Koestor Partowisastro, Dinamika dalam Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Erlangga, 2004),
hal. 125.
[6] Kartini Kartono, Psikologi Sosial 2: Kenakalan Remaja, (Jakarta: Rajawali Press,
1986), hal. 37.
[7] Anita Woolfolk, Educational Psychology: Active Learning Edition, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), hal. 65.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar