Jumat, 14 September 2018

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: Makalah Strategi Integrasi di Indonesia (Semester 2)



STRATEGI INTEGRASI DI INDONESIA
(BHINEKA TUNGGAL IKA)



MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan
Yang dibina oleh Lilis Aniyyah Zulfa, M.Pd.






 















Oleh:
Kelompok 10
1.      Lina Jinatul Falah                       (17205153015)
2.      Maidatul  Jannah                        (17205153051)
3.      Risma Nur Izzati                        (17205153002)
4.      Nila Husna Alfi Rohmah           (17205153040)







PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG
April 2016



KATA PENGANTAR


Puji syukur alhamdulilah kami panjatkan ke hadirat Allah swt. atas segala karunia-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam semoga senantiasa abadi, tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw. dan keluarga serta para sahabatnya.
Sehubungan dengan selesainya penulisan makalah ini maka kami mengucapkan terima kasih kepada:
1.    Dr. Maftukhin, M.Ag., selaku Rektor IAIN  Tulungagung,
2.    Dr. H. Abd. Aziz, M.Pd.I., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Tulungagung,
3.    Lilis Aniyyah Zulfa, M.Pd., selaku dosen pengampu mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan,
4.    Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Dengan penuh harap semoga jasa kebaikan mereka diterima Allah swt. dan tercatat sebagai amal shalih. Akhirnya, karya ini penulis suguhkan kepada segenap pembaca dengan harapan adanya kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi pengembangan dan perbaikan. Semoga karya ini bermanfaat dan mendapat ridha Allah swt.

Tulungagung, 20 April 2016



                Penulis









DAFTAR ISI

Sampul Judul.................................................................................................... i
Kata Pengantar................................................................................................. ii
Daftar Isi.......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang..................................................................................... 1
B.       Rumusan Masalah................................................................................. 1
C.       Tujuan Pembahasan.............................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN
A.      Pengertian Integrasi Nasional............................................................... 2
B.       Sejarah Bhineka Tunggal Ika................................................................ 4
C.       Implementasi Bhineka Tunggal Ika...................................................... 7
D.      Pendapat Mengenai Penerapan Bhineka Tunggal Ika Sekarang Ini..... 11

BAB III PENUTUP
A.       Kesimpulan........................................................................................... 18
B.       Kritik dan Saran................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 19




BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara yang penuh dengan keragaman baik itu dari suku bangsa maupun budayanya, daerah, ras, agama dan kepercayaan dan lain-lain. Namun dengan banyaknya perbedaan itu Indonesia dapat membina dan mempersatukan berbagai perbedaan tersebut dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika“ yang artinya walaupun berbeda–beda tetapi tetap satu jua. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang memiliki karakteristik  yang unik yang dapat dilihat dari budayanya, adat serta tradisi yang ada.
Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan bangsa Indonesia yang diangkat dari kitab Sutasoma karya Empu Tantular. Bhineka Tunggal Ika sebagai pembentuk karakter dan jati diri bangsa Indonesia dan disamping itu bangsa Indonesia relatif berhasil membentuk identitas nasional.

B.       Rumusan Masalah
1.        Bagaimana pengertian integrasi nasional?
2.        Bagaimana sejarah Bhineka Tunggal Ika?
3.        Bagaimana implementasi Bhineka Tunggal Ika?
4.        Bagaimana pendapat mengenai penerapan Bhineka Tunggal Ika sekarang ini?

C.      Tujuan Pembahasan
1.        Untuk memahami pengertian integrasi nasional.
2.        Untuk memahami sejarah Bhineka Tunggal Ika.
3.        Untuk memahami implementasi Bhineka Tunggal Ika.
4.        Untuk memahami pendapat mengenai penerapan Bhineka Tunggal Ika sekarang ini.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Integrasi Nasional
  Istilah integrasi nasional berasal dari dua kata yaitu integrasi dan nasional. Istilah integrasi mempunyai arti pembauran atau penyatuan sehingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat. Istilah nasional mempunyai pengertian kebangsaan, bersifat bangsa sendiri, meliputi suatu bangsa seperti cita-cita nasional. Di Indonesia istilah integrasi masih sering disamakan dengan istilah pembauran atau asimilasi, padahal kedua istilah tersebut memiliki perbedaan. Integrasi diartikan dengan integrasi kebudayaan, integrasi sosial, dan pluralisme sosial. Sementara pembauran dapat berarti penyesuaian antar dua atau lebih kebudayaan mengenai beberapa unsur kebudayaan (culutural traits) mereka yang berbeda atau bertentangan, agar dapat dibentuk menjadi suatu sistem kebudayaan yang selaras (harmonis).
Dengan demikian Integrasi nasional dapat diartikan penyatuan  bagian-bagian yang berbeda dari suatu masyarakat menjadi suatu keseluruhan yang lebih utuh, atau memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak jumlahnya menjadi suatu bangsa.  Untuk mewujudkan deperlukan keadilan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dengan tidak membedakan ras, suku, agama, bahasa, gender, dan sebagainya. Sesuai dengan makana Bhineka Tunggai Ika yaitu berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Sebenarnya upaya membangun keadilan, kesatuan, dan persatuan bangsa merupakan bagian dari upaya membangun dan membina stabilitas politik disamping upaya lain seperti banyaknya keterlibatan pemerintah dalam menentukan komposisi dan mekanisme parlemen.
Dengan demikian upaya integrasi nasional dengan strategi yang mantap perlu dilakukan terus agar terwujud integrasi bangsa Indonesia yang diinginkan. Upaya pembangunan dan pembinaan integrasi nasional ini perlu, karena pada hakikatnya integrasi nasional tidak lain menunjukkan tingkat kuatnya kesatuan dan persatuan bangsa yang diinginkan. Pada akhirnya persatuan dan kesatuan bangsa inilah yang dapat lebih menjamin terwujudnya negara yang makmur aman dan tenteram.[1]
Faktor-faktor pendorong integrasi nasional sebagai berikut:
1.        Faktor sejarah yang menimbulkan rasa senasib dan seperjuangan.
2.        Keinginan untuk bersatu di kalangan bangsa Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
3.        Rasa cinta tanah air di kalangan bangsa Indonesia, sebagaimana dibuktikan perjuangan merebut, menegakkan, dan mengisi kemerdekaan.
4.        Rasa rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan Negara, sebagaimana dibuktikan oleh banyak pahlawan bangsa yang gugur di medan perjuangan.
5.        Kesepakatan atau konsensus nasional dalam perwujudan Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila dan UUD 1945, bendera Merah Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, bahasa kesatuan bahasa Indonesia.
6.        Adanya simbol kenegaraan dalam bentuk Garuda Pancasila, dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
7.        Pengembangan budaya gotong royong yang merupakan ciri khas kepribadian bangsa Indonesia secara turun temurun.

Faktor-faktor penghambat integrasi nasional sebagai berikut:
1.        Masyarakat Indonesia yang heterogen (beraneka ragam) dalam faktor-faktor kesuku bangsaan dengan masing-masing kebudayaan daerahnya, bahasa daerah, agama yang dianut, ras dan sebagainya.
2.        Wilayah negara yang begitu luas, terdiri atas ribuan kepulauan yang dikelilingi oleh lautan luas.
3.        Besarnya kemungkinan ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang merongrong keutuhan, kesatuan dan persatuan bangsa, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
4.        Masih besarnya ketimpangan dan ketidakmerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan menimbulkan berbagai rasa tidak puas dan keputusasaan di masalah SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan), gerakan separatisme dan kedaerahan, demonstrasi dan unjuk rasa.
5.        Lemahnya nilai-nilai budaya bangsa akibat kuatnya pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa, baik melewati kontak langsung maupun kontak tidak langsung.
6.        Kontak langsung, antara lain melalui unsur-unsur pariwisata, sedangkan kontak tidak langsung, antara lain melalui media cetak (majalah, tabloid), atau media elektronik (televisi, radio, film, internet, telepon seluler yang mempunyai fitur atau fasilitas lengkap).[2]

B.       Sejarah Bhineka Tunggal Ika
Bhineka Tunggal Ika merupakan semboyan Negara. Semboyan Bhineka Tunggal  Ika memiliki arti "walaupun berbeda-beda, tapi tetap satu jua". Tulisan semboyan ini terpampang jelas di bawah lambang Indonesia yaitu Burung Garuda. Dalam lambang Garuda, tulisan Bhineka Tunggal Ika berada dalam balutan pita yang dicengkeram kaki burung  Garuda.Semboyan Bhineka Tunggal Ika sangat menggambarkan  keberagaman suku, bangsa, ras, dan agama yang ada di Indonesia. Keberagaman unsur budaya, bangsa, dan lainnya yang ada di Indonesia menggambarkan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Jadi, dapat disimpulkan bahwa semboyan tersebut merupakan semboyan pemersatu berbaga ibangsa, suku, agama, dan unsure lainnya sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Awalnya, semboyan yang dijadikan semboyan resmi Negara Indonesia sangat panjang, yaitu Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa. Semboyan Bhineka Tunggal Ika dikenal untuk pertama kalinya pada masa Majapahit era kepemimpinan Wisnuwardhana. Perumusan semboyan Bhineka Tunggal Ika ini dilakukan oleh Mpu Tantular dalam kitab Sutasoma. Perumusan semboyan ini padadasarnya merupakan pernyataan kreatif dalam usaha mengatasi keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan. Hal itu dilakukan sehubungan usaha bina Negara kerajaan  Majapahit saat itu. Semboyan Negara Indonesia ini  telah memberikan nilai-nilai inspiratif terhadap system pemerintahan pada masa kemerdekaan. Bhineka Tunggal Ika pun telah menumbuhkan semangat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam kitab Sutasoma, definisi Bhineka Tunggal Ika lebih ditekankan pada perbedaan dalam  hal kepercayaan dan keanekaragaman agama yang ada di kalangan masyarakat Majapahit. Namun, sebagai semboyan Negara Kesatuan Republik Indonesia, konsep Bhineka Tungggal Ika bukan hanya perbedaan agama dan kepercayaan menjadi fokus, tapi  pengertiannya lebih luas. Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan  Negara memiliki cakupan lebih luas, seperti perbedaan suku, bangsa, budaya (adat istiadat), beda pulau, dan tentunya agama dan kepercayaan yang menuju persatuan dan kesatuan Nusantara.
Jika diuraikan kata  per kata, Bhineka berarti Berbeda, Tunggal berarti Satu, dan Ika berarti Itu. Jadi, dapat disimpulkan bahwa walaupun berbeda-beda, tapi pada hakekatnya satu. Dengan kata lain, seluruh perbedaan yang ada di Indonesia menuju tujuan yang satu atau sama, yaitu bangsa dan Negara Indonesia.
Berbicara mengena ilambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, lambang Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika ditetapkan secara resmi menjadi bagian dari Negara Indonesia melalui Peraturan Pemerintah Nomor  66 Tahun 1951 pada 17 Oktober 1951 dan di Undang-undangkan pada 28 Oktober 1951 sebagai Lambang Negara. Usaha pada  masa Majapahit maupun pada masa pemerintahan Indonesia berlandaskan pada pandangan yang sama, yaitu pendangan mengenai semangat rasa persatuan, kesatuan dan kebersamaan sebagai modal dasar untuk menegakkan Negara.
Bangsa Indonesia sudah berabad-abad hidup dalam kebersamaan dengan keberagaman dan  perbedaan. Perbedaan warna kulit, bahasa, adat istiadat, agama, dan berbagai perbedaan lainya. Perbedaan tersebut dijadikan para leluhur sebagai modal untuk membangun bangsa ini menjadi sebuah bangsa yang besar. Sejarah mencatat bahwa seluruh anak bangsa yang berasal dari berbagai suku semua terlibat dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Semua ikut berjuang dengan mengambil peran masing-masing. Kesadaran terhadap tantangan dan cita-cita untuk membangun sebuah bangsa telah dipikirkan secara mendalam oleh para pendiri bangsa Indonesia. Keberagaman dan kekhasan sebagai sebuah realitas masyarakat dan lingkungan serta cita-cita untuk membangun bangsa dirumuskan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Kebhinnekaan merupakan realitas sosial, sedangkan ke-tunggal-ika-an adalah sebuah cita-cita kebangsaan. Wahana yang  digagas sebagai “jembatan emas” untuk menuju pembentukan  sebuah ikatan yang merangkul keberagaman dalam sebuah bangsa adalah sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.
Para pendiri Negara juga mencantumkan banyak sekali pasal-pasal yang mengatur tentang keberagaman. Salah satu pasal tersebut adalah  tentang pentingnya keberagaman dalam pembangunan selanjutnya diperkukuh dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 36A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Kita terdiri dari bermacam-macam suku yang mempunyai kebudayaan daerahnya sendiri-sendiri. Kita memeluk agama dan menganut kepercayaan yang berbeda-beda. Akan tetapi, kita adalah satu bangsa, memiliki satu tanah air, dan mempunyai satu bahasa persatuan. Semboyan kita adalah Bhineka Tunggal Ika.[3]



C.      Implementasi Bhineka Tunggal Ika
Bhineka Tunggal Ika merupakan semboyan negara Indonesia yang dijadikan sebagai dasar untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan Indonesia. Sebagai masyarakat Indonesia kita setidaknya mesti dapat menerapkan semboyan tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Misalnya saja yang sederhanaya itu seperti: hidup saling menghargai antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya tanpa memandang suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, warna kulit dan lain-lain. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau dimana setiap daerah memiliki adat istiadat, bahasa, ataupun aturan, kebiasaan yang berbedaan tara satu dengan lainnya. Tanpa adanya kesadaran sikap untuk menjaga Bhineka Tunggal Ika pastinya akan terjadi berbagai kekacauan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana setiap orang akan hanya mementingkan dirinya sendiri atau daerahnya sendiri tanpa peduli dengan kepentingan bersama. Bila hal tersebut terjadi pastinya Negara kita ini akan terpecah belah. Oleh sebab itu marilah kita jaga semboyan Bhineka Tunggal Ika tersebut dengan sebaik-baiknya agar persatuan bangsa dan negara Indonesia tetap terjaga dan kita pun haruslah sadar bahwa perlu perjuangan yang begitu panjang untuk menyatukan seluruh komponen bangsa ini hingga menjadi sebuah negara kesatuan seperti sekarang ini.[4]
Ada beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk menjadikan Bhineka Tunggal Ika lebih membumi dalam pribadi masyarakat yang heterogenini, salah satunya yaitu dengan identitas social mutual differentiation model dari Brewer & Gaertner yang diterapkan pada diri setiap Individu dalam bangsaini. mutual differentiation model adalah suatu model dimana seseorang atau kelompok tertentu mempertahankan identitas asal (kesukuanataudaerah) namun secara bersamaan kesemua kelompok tersebut juga memiliki suatu tujuan bersama yang pada akhirnya mempersatukan mereka semua. Model ini akan memunculkan identitas ganda yang bersifat hirarkis, dengan artian seseorang tidak akan melepaskan identitas asalnya dan memiliki suatu identitas bersama yang lebih tinggi nilainya. Sebagai contoh seseorang tidak melupakan asalnya sebagai orang Minang, namun memiliki suatu kesatuan bersama yang lebih diutamakan yaitu sebagai rakyat Indonesia.[5] Dengan demikian identitas kesukuan atau daerah lebih rendah nilai dan keutamaannya dari padai dentitas nasional, Sesuai dengan makna Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri, dimana persatuan adalah harga mati.
Mengimplementasikan Bhineka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga dapat dilakukan dengan memahami sifat-sifat dari Bhineka Tunggal Ika itu sendiri, sifat-sifat tersebut mengandung sebuah arti yakni membentuk kesatuan dari berbagai keanekaragaman, sebagai salah satu contoh yakni keanekaragaman agama, dalam hal ini Bhineka Tunggal Ika tidak dimaksudkan untuk membentuk agama baru, tetapi setiap agama diakui seperti apa adanya. Sebagai suatu semboyan Bhineka Tunggal Ika tidak bersifat sektarian dan eksklusif, hal ini juga bermakna bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dibenarkan seseorang beranggapan bahwa dirinyalah yang paling benar, paling hebat, dan tidak mengakui harkat dan martabat pihak lain. Dan sebaliknya Bhineka Tunggal Ika tersebut bersifat Inklusif artinya golongan mayoritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak memaksakan kehendaknya kepada golongan minoritas. Bhineka Tunggal Ika juga bersifat formalitas yang hanya menunjukkan perilaku semu dan juga dilandasi oleh sikap saling mempercayai, saling menghormati, saling mencintai, dan sebagainya. Dengan cara inilah keanekaragaman bisa dipersatukan. Bhineka Tunggal Ika juga bersifat konfergen bukan difergen, yang mempunyai makna perbedaan yang terjadi dalam keanekaragaman tidak perlu untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu, dalam bentuk kesepakatan bersama.
Sebagai patokan dalam mengimplementasikan Bhinneka Tunggal Ika, kita juga bisa mempelajari konsep multikulturalistik yang terkandung didalamnya. Prinsip multikulturalistik merupakan suatu asas yang mengakui adanya kemajemukan bangsa dilihat dari segi agama, keyakinan, suku bangsa, adat budaya, keadaan daerah, dan ras. Kemajemukan tersebut dihormati dan dihargai serta  didudukkan dalam suatu prinsip yang dapa tmengikat keanekaragaman tersebut dalam kesatuan yang kokoh. Kemajemukan bukan dikembangkan dan didorong menjadi factor pemecah belah bangsa, tetapi sebaliknya, kemajemukan merupakan kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing komponen bangsa, untuk selanjutnya diikat secara sinerjik menjadi kekuatan yang luar biasa untuk dimanfaatkan dalam menghadapi segala tantangan dan persoalan bangsa. Prinsip tersebut mendukung niali sebagai berikut:
1)        Inklusif
2)        Terbuka
3)        Ko-eksistensi Damai dan Kebersamaan
4)        Kesetaraan
5)        Tidak merasa yang paling benar
6)        Toleran
7)        Musyawarah disertai dengan penghargaan kepada pihak lain yang berbeda
Dan berikut beberapa implementasi dari nilai-nilai yang terkandung diatas:
1.        Perilaku Inklusif
Dapat diimplementasikan dengan cara, menganggap diri kita baik itu sebaga iindividu atau kelompok masyarakat, bahwa kita itu hanya merupakan sebagian dari kesatuan dari masyarakat yang lebih luas. Dengan begitu seseorang akan menjadi sadar betapa besar dan penting kelompoklainnya dalam kehidupan bersama, tidak memandang rendah dan menyepelekan kelompok yang lain. Masing-masing memiliki peran yang tidak dapa tdiabaikan, dan bermakna bagi kehidupan bersama. Jadi, dalam hal ini tidak ada lagi yang menilai bahwa kelompoknyalah yang paling baik atau yang paling tinggi derajatnya. Semuanya setara dan saling membutuhkan satu sama lainnya.
2.      Musyawarah untuk mencapai mufakat
Dalam hal ini, Bukan pendapat sendiri yang harus dijadikan kesepakatan bersama, tetapi common denominator, yakni inti kesamaan yang dipilih sebagai kesepakatan bersama. Hal ini hanya akan tercapai dengan proses musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan cara ini segala gagasan yang timbul diakomodasi dalam kesepakatan. Tidak ada yang menang tidak ada yang kalah. Inilah yang biasa disebut sebagai win win solution.[6]

3.        Sikap kasih sayang dan rela berkorban
Dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu dilandasi oleh rasa kasih sayang. Saling curiga mencurigai harus dibuang jauh-jauh. Saling percaya mempercayai harus dikembangkan, iri hati, dengki harus dibuang dari kamus Bhinneka Tunggal Ika. Eksistensi kita di dunia adalah untuk memberikan pelayanan kepada pihak lain, dilandasi oleh tanpa pamrih pribadi dan golongan, disertai dengan pengorbanan.Bila setiap warga negara memahami makna Bhinneka Tunggal Ika, meyakini akan ketepatannya bagi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara yang multikulturalisme, serta mau dan mampu mengimplementasikan secara tepat dan benar, maka Negara Indonesia akan tetap kokoh dan bersatu selamanya. Seperti pepatah yang mengatakan “Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.”

4.      Sikap rukun dan damai
Hal ini mencakup sikap toleransi, saling hormat menghormati, mendudukkan masing-masing pihak sesuai dengan peran, harkat dan martabatnya secara tepat, tidak memandang remeh pada pihak lain, apalagi menghapus eksistensi kelompok dari kehidupan bersama, merupakan syarat bagi lestarinya negara-bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Kerukunan hidup perlu dikembangkan dengan sebaik-baiknya, agar mewujudkan kedamaian dan rasa aman.[7]
Selain keempat implementasi yang mengacu pada nilai-nilai prinsip diatas, masih ada lagi implementasi Bhineka Tunggal Ika yang mungkin sedang berkembang di dalam masyarakat saat ini dan seringkali kita temui atau amati, seperti yang tercermin dari Pemilu yang kita laksanakan. Walaupun pada dasarnya penduduk Indonesia tersebut berasal dari suku yang berbeda-beda, jika sudah menyangkut nama bangsa apalagi jika sudah berkaitan dengan masa depan bangsa mereka tidak lagi mempermasalahkan berasal dari suku manakah orang-orang yang mencalonkan diri sebagai pemimpin tersebut. Bagi mereka asalkan para calon pemimpin tersebut dapat membawa bangsa Indonesia ini kearah yang lebih baik, mereka pasti akan berbondong-bondong untuk memilihnya. Buktinya, selama ini dalam pelaksanaan Pemilu yang selalu menggunakan cara pemilihan Demokratis yang melibatkan seluruh warga dari berbagai macam suku, belum pernah kita temui orang yang menggugat seorang calon pemimpin dari latar belakang suku mana mereka berasal. Dari hal tersebut bisa kita nilai bahwa semboyan Bhineka Tunggal Ika memang benar-banar sudah ditanamkan dan bahkan sudah melekat ke dalam jiwa dan raga masyarakat kita.

D.      Pendapat Mengenai Penerapan Bhineka Tunggal Ika Sekarang Ini
Bhineka Tunggal Ika merupakan semboyan negara Indonesia sebagai dasar untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan Indonesia, dimana kita haruslah dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari yaitu hidup saling menghargai antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya tanpa memandang suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, warna kulit dan lain-lain. Tetapi pada kenyataannya sekarang ini penerapan bhineka tunggal ika mulai memudar. Berikut ini beberapa penyebab lunturnya makna Bhineka Tunggal Ika, yaitu:
1.        Diskriminasi
       Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku,ras, etnik,kelompok, golongan, status sosial, status ekomomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Isi pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tersebut dibuat sebagai landasan hukum bagi Indonesia dalam menerapkan keadilan tanpa bentuk diskriminatif sesuai amanah Pancasila yang salah satu butirnya menekankan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia yang dikenal majmuk dengan berbagai latar belakang yang berbeda-beda baik dari sisi agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekomomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik bangsa Indonesia.
     Namun cita-cita mulia negara tersebut agaknya tidak diiringi dengan keprofesionalan oknum pemerintah yang menjalankan roda birokrasi negara dalam mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa harus menggunakan bentuk diskriminatif agar tidak terjadi kecemburuan sosial antar sesama bangsa Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari bagaimana buruknya sistem pelayanan sosial ditengah kehidupan masyarakat yang salah satu penyebabnya karena pihak aparatur negara masih mengedepankan diskriminasi dalam menjalankan kinerja mereka demi keuntungan personalia yang berakibat pada jeleknya image instansi yang mereka naungi dimata masyarakat luas. Satu contoh yang dapat diambil adalah bagaimana pelayanan hukum di Indonesia yang kerap kali diselingi dengan berbagai bentuk diskriminasi dalam penegakanya.
Para koruptor yang notebenenya adalah pencuri uang rakyat senantiasa mendapat pelayanan hukm yang istimewa meskipun mereka telah berada didalam penjara. Kerap kali kita dengar mereka yang memiliki dana besar untuk menyuap para oknum penegak hukum dapat menikmati kehidupan layaknya orang biasa yang tidak berada di jeruji besi. Uang yang mereka rampas dari hak rakyat itulah yang digunakan untuk menjamin pelayanan ekstra dalam menjalani proses hukum yang mereka hadapi. Hal tersebut tentu tidak berdampak pada taubatnya sang narapidana dalam melakukan penyimpangan yang merugikan negara karena dimanapun mereka berada tetap fasilitas mewah dan ekstra dapat mereka miliki.
Kisah dari tersangka kasus korupsi di Kantor Pajakan Gayus Tambunan yang saat ditahan justru bisa pelesiran ke bali untuk menonton pertandingan tenis Internasional, bahkan pergi keluar negeri dengan uang yang dia miliki hasil dari korupsi yang ia lakukan.
Selain itu isu yang paling sering terjadi tentang pelayanan ekstra para napi berdasi ini adalah izin berobat yang senantiasa menjadi jurus ampuh bagi mereka yang tersandung masalah korupsi. Cara ini merupakan hal klasik yang selalu digunakan oleh koruptor sebagai upaya menunda-nunda persidangan yang berakhir pada terbenamnya kasus mereka dikemudian hari.
Dan yang terbaru dan masih hangat adalah kasus yang menimpa istri mantan Waka polri Adang Daradjatun, Nunun Nurbaiti yang tersandung masalah kasus cek pelawat dan ditahan di rutan Pondok Bambu. Nunun yang sebelumnya menghuni Paviliun Dahlia ruang 112 bersama puluhan napi wanita lainnya, dipindahkan keruang 14 bersebelahan dengan Melinda Dee, tersangka kasus Citibank, karena Nunun berulang kali menderita sakit dan harus dirujuk kerumah sakit. Hingga pada saat ini ia hanya tinggal berdua dalam satu ruangan dengan Heni Farida tersangka kasus pemalsuan surat yang tentunya lebih nyaman dibanding ruang tahanan sebelumnya. Hal ini pasti tidak akan didapatkan oleh napi lain walaupun mereka memiliki keluhan yang sama karena kapasitas pamor yang mereka miliki berbeda.
Dari beberapa contoh kasus diatas kita dapat melihat begitu istimewanya perlakuan hukum yang didapat oleh para penjahat yang telah merugikan negara. Uang dan Popularitas yang mereka miliki seolah dapat menjadi benteng pelindung bagi mereka meskipun kasus yang mereka timbulkan berdampak besar bagi kesejahteraan rakyat banyak. Yang miskin tetap sesuai aturan tegas. Jika para koruptor dapat tetap menikmati proses hukum yang mereka jalani dengan uang yang dimiliki, lain halnya dengan para rakyat kecil yang harus menjalani proses hukum yang tegas meskipun kejahatan yang mereka timbulkan dikarenakan lilitan kemiskinan yang meraka alami.
Dimulai dari kasus Nenek Minah, seorang tua berusia 55 tahun yang harus menerima kenyataan pahit akibat perbuatan isengnya memetik 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) dan akibat perbuatannya itu dia diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan. Kejadian ini berawal saat Nek Minah sedang memanen kedelai di lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, pada 2 Agustus lalu. Lahan garapan Nek Minah ini juga dikelola oleh PT RSA untuk menanam kakao. Ketika Nek Minah sedang memanen kedelai, dia melihat 3 buah kakao yang sudah ranum. Nek Minah kemudian memetiknya untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao itu tidak disembunyikan melainkan digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao. Namun naas baginya seorang mandor perkebunan kakao PT RSA memergoki aksinya dan melaporkannya ke polisi.
Apakah ini yang dinamakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, bagaimana jika seorang koruptor yang telah merugikan negara miliaran rupiah mendapat fasilitas ekstra dalam masa tahannya, sebaliknya para rakyat kecil yang karena lilitan kemiskinan lantas melakukan tindakan kirminal langsung diproses secara tegas.
Begitu mahalkah nilai keadilan dinegari ini sehingga ini telah menjadi fenomena klasik dalam sistem penegakkan hukum di Indonesia yang bersahabat dengan ketidakadilan.[8]

2.        Konflik
Konflik adalah pertentangan antar anggota masyarakat yang bersifat menyeluruh. Sudah sejak lama konflik banyak terjadi di Indonesia dan korbannya pun sudah tidak dapat dihitung lagi, mulai dari korban jiwa, harta, dan banyak lagi yang tidak dapat disebutkan. Terjadinya banyak konflik menunjukkan jika masyarakat semakin tidak saling menghormati serta tidak terwujudnya HAM yang baik di Indonesia. Pertentangan antara warga asli Lampung dengan warga Bali di Lampung merupakan salah satu contoh konflik yang terjadi. Konflik ini terjadi karena kesalah pahaman antara dua kubu tersebut. Akibat dari konflik itu, banyak korban yang berjatuhan, rumah-rumah yang hancur, serta perpecahan dalam masyarakat. Faktor lain terjadinya konflik adalah primordialisme, yaitu menganggap kelompoknya lebih tinggi dari kelompok lain. Primordialisme ini sangat berpengaruh apabila terjadi di Indonesia, karena mengingat Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku. Selanjutnya adalah adanya kesenjangan ekonomi, misal kasus Sampit. Masyarakat asli tidak menerima adanya perbedaan ekonomi dengan masyarakat pendatang sehingga memunculkan konflik yang tidak berujung.
Selain dua faktor di atas, adanya kesalah pahaman juga mempengaruhi terjadinya konflik, adanya perbedaan keyakinan (agama) juga bisa menyebabkan konflik antar masyarakat. Konflik sering terjadi di Indonesia,  seperti  konflik antar etnis Lampung vs Bali, masyarakat vs anggota TNI/Polri, konflik karena agama di Poso. Pelanggaran HAM sudah pasti banyak saat terjadi konflik. Seperti pelanggaran hak hidup dan hak berpendapat. Tidak jarang para pelanggar HAM adalah mereka yang seharusnya ikut menjaga keutuhan hidup bermasyarakat, yaitu para anggota TNI/Polri yang dengan gampang bisa menembakkan peluru mereka ke arah orang-orang yang berkonflik dengan sembarangan.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Faktor-faktor penyebab terjadinya konflik antara lain:
a.         Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
b.        Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
c.         Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
d.        Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.

3.        Egoisme
Egoisme merupakan motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya menguntungkan diri sendiri. Egoisme berarti menempatkan diri di tengah satu tujuan serta tidak peduli dengan penderitaan orang lain, termasuk yang dicintainya atau yang dianggap sebagai teman dekat. Istilah lainnya adalah "egois". Hal ini berkaitan erat dengan narsisme, atau "mencintai diri sendiri," dan kecenderungan mungkin untuk berbicara atau menulis tentang diri sendiri dengan rasa sombong dan panjang lebar. Egoisme dapat hidup berdampingan dengan kepentingannya sendiri, bahkan pada saat penolakan orang lain. Sombong adalah sifat yang menggambarkan karakter seseorang yang bertindak untuk memperoleh nilai dalam jumlah yang lebih banyak daripada yang ia memberikan kepada orang lain. Egoisme sering dilakukan dengan memanfaatkan kebodohan orang lain, serta memanfaatkan kekuatan diri sendiri dan atau kecerdikan untuk menipu.[9]



BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Bhineka Tunggal Ika merupakan hasil dari integrasi nasional. Di satu sisi semboyan ini membawa dampak positif bagi bangsa karena kita bisa memanfaatkan kekayaan alam Indonesia secara bijak atau mengelola budaya budaya yang melimpah untuk kesejahteraan rakyat, namun selain menimbulkan sebuah keuntungan, hal ini juga akhirnya menimbulkan masalah yang baru sebab di lain sisi dengan wilayah dan budaya yang melimpah itu akan menghasilkan karakter atau manusia manusia yang berbeda pula sehingga dapat mengancam keutuhan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu upaya integrasi nasional dengan strategi yang mantap agar terwujud integrasi bangsa Indonesia yang diinginkan.

B.       Kritik dan Saran
Saran sehubungan dengan materi pembahasan, hendaknya berbagai pihak baik dari masyarakat ataupun pemerintah. Perlu menanamkan lagi nilai-nilai kebhinekaan di dalam dirinya. Mengingat masih banyaknya  perpecahan di berbagi elemen masyarakat. Dan sehubungan dengan makalah ini, tiada gading yang tak retak dengan kata lain makalah ini tak luput dari kekurangan. Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik dari berbagai pihak demi lebih baiknya makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA

Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Mansur, Ahmad. 2006.  Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Erlangga.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.
Sumarsono. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Suyono dan Suprapto, dkk. 1983. Pendidikan Moral Pancasila. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
Tilaar, H.A.R. 2007. Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Tjarsono, Idjang. 2013Demokrasi Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika Solusi Heterogenitas. Riau: UNRI Press.
Lubis, Eka Awin. Fenomena klasik ketidakadilan hokum di Indonesia. (online) http://m.kompasiana.com/ekaka_lubis/fenomena-klasik-ketidakadilan-hukum-di-indonesia html, (diakses pada 18 Maret 2016).







[1] Ahmad Mansur,  Pendidikan Kewarganegaraan, ( Jakarta: Erlangga, 2006), hal. 36.
[2] Sumarsono, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 37.
[3] Suyono dan suprapto, dkk., Pendidikan Moral Pancasila,  (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, 1983),  hal. 41.
[4] H.A.R. Tilaar, Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007), hal. 181.
[5] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hal. 64.
[6] Idjang Tjarsono, Demokrasi Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika Solusi Heterogenitas, (Riau: UNRI Press, 2013), hal. 883.
[7] Kaelan, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2004), hal. 38.
[8] Eka Awin Lubis, Fenomena klasik ketidakadilan hokum di Indonesia, (online) http://m.kompasiana.com/ekaka_lubis/fenomena-klasik-ketidakadilan-hukum-di-indonesia html, (diakses pada 18 Maret 2016).
[9] Sumarsono, Pendidikan Kewarganegaraan…, hal. 25.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar