UNSUR-UNSUR
KARYA SASTRA
TUGAS INDIVIDU
Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Bahasa
Indonesia MI/SD
2
Yang
dibina oleh Mustofa, S. S., M.
Pd.
Disusun
Oleh:
Nama : Risma
Nur Izzati
NIM :
17205153002
Kelas :
PGMI-4A
JURUSAN PENDIDIKAN GURU
MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
TULUNGAGUNG
Maret 2017
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
TULUNGAGUNG
Maret 2017
Unsur-unsur
Karya Sastra Indonesia
Secara
umum karya sastra (modern) khususnya prosa memiliki dua unsur pokok, yaitu
unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Secara lebih rincinya mari kita simak
pembahasan berikut ini:
A.
Unsur
Intrinsik
Ialah
unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Unsur-unsur intrinsik karya
sastra ada 6, meliputi:
1.
Tema
Adalah sesuatu yang menjadi pokok masalah atau pokok pikiran dari pengarang yang ditampilkan dalam karangannya.
Adalah sesuatu yang menjadi pokok masalah atau pokok pikiran dari pengarang yang ditampilkan dalam karangannya.
2.
Amanat
Adalah kesan dan pesan yang dapat memberi tambahan masukan pengetahuan, pendidikan, yang bisa bermakna dalam hidup, juga memberikan hiburan, kepuasan dan kekayaan batin didalam hidup kita.
Adalah kesan dan pesan yang dapat memberi tambahan masukan pengetahuan, pendidikan, yang bisa bermakna dalam hidup, juga memberikan hiburan, kepuasan dan kekayaan batin didalam hidup kita.
3.
Plot
atau Alur
Adalah
suatu jalan cerita yang menceritakan rangkaian peristiwa dari awal hingga akhir
cerita.
a.
Tahap-tahap
alur
1)
Tahap Perkenalan atau Ekposisi
Ialah tahap permualaan cerita yang
dimulai dengan suatu kejadian, tapi belum ada ketegangan bisa di artikan
perkenalan para tokoh, penggambaran tempat, fisik pelaku, dan reaksi antar
pelaku.
2)
Tahap pertentangan atau konflik
Ialah tahap dimana mulai terjadi
pertentangan antara pelaku-pelaku, bisa juga disebut titik pijak untuk menuju
kepertentangan selanjutnya. Konflik sendiri ada 2, yaitu :
a)
Konflik Internal
Adalah konflik yang terjadi pada
diri tokoh itu sendiri.
b)
Konflik Eksternal
Adalah konflik yang
terjadi diluar tokoh, seperti konflik tokoh dengan tokoh, konflik tokoh dengan
tuhan, konflik tokoh dengan lingkungan, konflik tokoh dengan alam, dan lain
sebagainya.
3)
Tahap penanjakan konflik atau komplikasi
Ialah tahap dimana ketegangan mulai
berkembang dan terasa rumit, bisa diartikan nasib tokoh sulit ditebak dan
samar-samar.
4)
Tahap Klimaks
Ialah dimana tahap ketegangan mulai
memuncak dan nasib pelaku mulai dapat diduga dan kadang dugaan itu tidak
terbukti diakhir cerita.
5)
Tahap Penyelesaian
Ialah
tahap dari akhir cerita, pada bagian ini berisi tentang penjelasan nasib-nasib
tokoh setelah mengalami peristiwa puncak. Ada juga penyelesaiannya yang
diserahkan kepada pembaca, jadi akhir ceritanya tanpa penyelesaian dan menggantung.
b.
Macam-Macam
Alur
1)
Alur Maju
Adalah suatu peristiwa yang
diutarakan dari awal hingga akhir, atau masa kini hingga masa depan.
2)
Alur Mundur atau Sorot Balik atau Flash
Back
Adalah rangkaian peristiwa yang
menjadi penutup atau diutarankan terlebih dahulu atau masa kini, baru
menceritakan kenangan masa lalu dari salah satu tokoh.
3)
Alur Campuran
Adalah rangkaian peristiwa pokok
yang diutarakan. Dalam mengutarakan peristiwa pokok pembaca diajak mengenang
masa lampau, kemudian mengenang peristiwa pokok yang sedang dialami tokoh
utama.
4.
Perwatakan
atau Penokohan
Ialah
bagaimana cara mengarang melukis watak tokoh.
a.
Cara
untuk melukiskan watak tokoh
1)
Analitik
Artinya si pengarang langsung menceritakan watak tokohnya.
Artinya si pengarang langsung menceritakan watak tokohnya.
Contoh:
Siapa
yang tidak mengenal sosok pak rian orangnya yang pintar, lucu, baik hati dan
periang. Postur tubuhnya yang tidak terlalu tinggi melengkapi sosok guru yang
diidolakan murid-muridnya.
2)
Dramatik
Artinya si pengarang melukiskan watak tokohnya secara tidak langsung. Bisa melalui lingkungan, tempat tinggal, dialog antar tokoh atau percakapan, tingkah laku, atau fisik, perbuatan, jalan pikiran, dan komentar tokoh lain terhadap tokoh tertentu.
Artinya si pengarang melukiskan watak tokohnya secara tidak langsung. Bisa melalui lingkungan, tempat tinggal, dialog antar tokoh atau percakapan, tingkah laku, atau fisik, perbuatan, jalan pikiran, dan komentar tokoh lain terhadap tokoh tertentu.
Contoh
:
Begitu
Putri memasuki kamarnya, Pelajar kelas 3 SMP itu langsung melemparkan tasnya
dan langsung langsung berbaring ditempat tidurnya tanpa melepas sepatunya
terlebih dahulu (tingkah laku tokoh)
3)
Campuran
Ialah gabungan antara analitik dan dramatik. Pelaku dalam ceritanya dapat berupa benda-benda mati, binatang, dan manusia yang diinsankan.
Ialah gabungan antara analitik dan dramatik. Pelaku dalam ceritanya dapat berupa benda-benda mati, binatang, dan manusia yang diinsankan.
b.
Pelaku
atau tokoh dalam cerita
1)
Pelaku Utama
Ialah pelaku yang
memegang peran utama dalam sebuah cerita dan selalu hadir disetiap kejadian.
2)
Pelaku Pembantu
Ialah pelaku yang
berfungsi untuk membantu pelaku utama dalam subuah cerita. Bisa sebagai
penantang utama, bisa juga sebagai pahlawan.
3)
Pelaku Protagonis
Ialah pelaku yang
membawa watak tertentu yang membawa ide kebenaran (setia, jujur, baik hati, dan
lain-lain)
4)
Pelaku Antagonis
Ialah pelaku yang
menjadi penentang pelaku protogonis (pembohong, penipu, dan lain sebagainya)
5)
Pelaku Tritagonis
Ialah tokoh yang
biasanya muncul sebagai tokoh ketiga dalam sebuah cerita atau bisa juga disebut
tokoh penengah.
5.
Latar
atau Setting
Ialah seatu keadaan yang melingkupi
pelaku dalam sebuah cerita. ada 3 jenis latar, yaitu :
a.
Latar Tempat
Adalah dimana tempat pelaku berada
dan cerita terjadi (dirumah, sekolah, kota, perkantoran, dan lain sebagainya)
b.
Latar Waktu
Ialah kapan cerita itu terjadi
(pagi, siang, malam, sore, kamarin, besok, dan lain sebagainya)
c.
Latar suasana
Ialah bagaimana keadaan yang
terjadi dalam sebuah cerita (gembira, sedih, damai, sepi, dan lain sebagainya)
6.
Sudut
Pandang Pengarang
Ialah suatu posisi atau kedudukan
pengarang dalam dalam sebuah cerita. Sudut pandang dibedakan menjadi 2, yaitu :
a.
Sudut Pandang orang pertama
Artinya pengarang sebagai pelaku
yang terlibat langsung dalam sebuah cerita, terutama sebagai pelaku utamanya
(saya, aku, kata ganti orang pertama jamak: kita, kami)
b.
Sudut Pandang orang ketiga
Adalah pengarang berada diluar
cerita, ia hanya menuturkan tokoh-tokoh dilua, dan tidak terlibat dalam cerita.
Pelaku utamanya (dia, ia mereka, kata ganti orang ketiga jamak, nama-nama
lain).
B.
Unsur
Ekstrinsik
Unsur-unsur
ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara
tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Secara
lebih khusus lagi ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi
bangun cerita sebuah karya sastra, tetapi tidak menjadi bagian di dalamnya.
Walaupun demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangun
cerita yang dihasilkannya. Pemahaman unsur ekstrinsik suatu karya sastra,
bagaimanapun, akan membantu dalam hal pemahaman makna karya itu mengingat bahwa
karya sastra tak muncul dari situasi kekosongan budaya. Bentuk penyampaian
moral dalam karya fiksi mungkin bersifat langsung atau tidak langsung.
Unsur-unsur
ekstrinsik meliputi:
1.
Latar Belakang Penciptaan yang meliputi
kapan sastra itu diciptakan.
2.
Kondisi pada saat karya sastra
diciptakan Ialah keadaan masyarakat baik itu ekonomi, budaya, sosial, politik
pada saat karya itu diciptakan.
3.
Pandangan hidup pengarang atau latar
belakang pengarang.
Seperti
yang telah kita tahu, bahwasanya karya sastra sendiri dibedakan menjadi
beberapa macam. Nah, pada setiap karya sastra tersebut terdapat unsur-unsur
pembentuknya, diantaranya:
A.
Unsur-Unsur
Pembangun Puisi
1.
Bunyi
Bahasa
puisi cenderung mendaya-gunakan unsur perulangan bunyi. Dalam puisi, bunyi
memiliki peran antara lain agar puisi itu merdu jika dibaca dan dide-ngarkan,
sebab, pada hakikatnya puisi adalah salah satu karya seni yang diciptakan untuk
didengarkan. Mengingat pentingnya unsur bunyi, pemilihan dan penempatan kata
sering kali didasarkan pada nilai bunyi. Beberapa pertimbangan tersebut antara
lain adalah (1) bagaimanakah kekuatan bunyi suatu kata yang dipilih itu
diperkirakan mampu memberikan atau membangkitkan tanggapan pada pikiran dan
perasaan pembaca atau pendengamya; (2) bagaimanakah bunyi itu sanggup membantu
memperjelas ekspresi; (3) ikut membangun suasana puisi, dan (4) mungkin juga
mampu membangkitkan asosiasi-asosiasi tertentu.
Dilihat
dari segi unsur bunyi itu sendiri dikenal adanya sajak sempurna, sajak paruh,
aliterasi, dan asonansi. Dari posisi kata yang mendukungnya dikenal adanya
sajak awal, sajak tengah (sajak dalam), dan sajak akhir. Berdasarkan hubungan
antar baris dalam tiap bait dikenal adanya sajak merata (terus), sajak
berselang, sajak berangkai, dan sajak berpeluk. Kadang-kadang bermacam ulangan
bunyi (persajakan) tersebut dapat ditemukan dalam sebuah puisi.
Sajak
sempurna adalah ulangan bunyi yang timbul sebagai akibat ulangan kata tertentu,
seperti tampak pada contoh berikut:
Katanya kau keturunan pisau
Katanya kau keturunan pisau yang
terengah
Katanya kau keturunan pisau yang
terengah dan mengucurkan darah
Katanya kau keturunan pisau yang
terengah dan mengucurkan
Pada
kutipan tersebut ulangan bunyi yang ditimbulkan oleh ulangan kata, hanya
terdapat pada awal-awal baris, sehingga disebut sebagai sajak paruh.
Asonansi
adalah ulangan bunyi vokal yang terdapat pada baris-baris puisi, yang
menimbulkan irama tertentu, sementara aliterasi dalam ulangan konsonan.
Asonansi, misalnya terdapat dalam kutipan berikut:
Ia dengar kepak sayap kelelawar dan
guyur sisa hujan dari daun karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda
serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti yang
jauh...
Pada
kutipan tersebut terdapat asonansi berupa ulangan bunyi i- a, e-a, u-a, a-i,
berulang-ulang sepanjang baris-baris puisi tersebut yang menimbulkan irama
sehingga puisi enak dibaca. Dalam kutipan tersebut juga terdapat aliterasi,
terutama pada ulangan konsonan d, k, p, l, n, ng, r, s yang ketika dikombinasikan
dengan bunyi asonansi cenderung menimbulkan irama dan suasana muram.
Sajak
awal (rima awal) adalah ulangan bunyi atau persajakan yang terdapat pada tiap
awal baris, sementara sajak tengah terdapat pada tengah baris, dan sajak akhir
terdapat pada akhir baris.
Contoh
sajak awal tersebut tampak pada kutipan berikut;
Tiang tanpa akhir tanpa apa di
atasnya
Tiang tanpa topang apa di atasku
Tiang tanpa akhir tanda duka lukaku
Tiang tanpa siang tanpa malam tanpa
waktu
Sajak
tengah (rima tengah) tampak pada contoh berikut;
puan jadi celah celah jadi sungai
sungai jadi muare muare jadi perahu perahu jadi buaye buaye jadi puake puake
jadi pukau pukau jadi mau
Contoh
sajak akhir (rima akhir) adalah sebagai berikut:
akan kau kau kan kah hidupmu? kau
nanti kau akan kau mau kau mau
siapa yang tikam burung yang waktu
waktukutukku waktukutukku
waktukutukku waktukutukku
Pada
kutipan tersebut sajak akhir tampak pada per-samaan bunyi u di semua akhir
baris.
Berdasarkan
hubungan antarbaris terdapat sajak merata, yang ditandai pada ulangan bunyi
a-a-a-a di semua akhir baris; sajak berselang, yang ditandai dengan ulangan
bunyi a-b-a-b di semua akhir baris; sajak berangkai: a-a-b-b; dan berpeluk:
a-b-b-a.
Contoh
sajak merata tampak pada kutipan puisi berikut ini:
Mari kita bersama-sama
Naik sepeda bersuka ria
Jangan lupa ajak kawan serta
Agar hati yang sedih jadi terlupa
Contoh
sajak berselang adalah pada kutipan pantun berikut ini.
Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke ketepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang- senang kemudian
Contoh
sajak berangkai (a-a-b-b) tampak pada contoh berikut ini:
perahu jadi buaye buaye jadi puake
puake jadi pukau pukau jadi mau
Contoh
sajak berpeluk (a-b-b-a) tampak pada contoh berikut ini:
Gelombang menari ditingkah angin
Camar-camar berebut ikan
Biro laut biri ikan-ikan
Aku pun ingin menjelma angin
Yang
perlu diingat ulangan bunyi dalam puisi, bukan semata-mata sebagai hiasan untuk
menimbulkan nilai keindahan, tetapi juga memiliki fungsi untuk mendukung makna
dan menimbulkan suasana tertentu. Oleh karena itu, sesuai dengan suasana yang
ditimbulkan oleh ulangan bunyi dikenal bunyi efony (bunyi yang menimbulkan
suasana menyenangkan) dan cacophony (bunyi yang menimbulkan suasana muram dan
tidak menyenangkan ).
Efony,
juga tampak pada ulangan bunyi u, a, i, e yang dipadu dengan b, d, k, t yang
dominan dalam puisi tersebut yang menimbulkan suasana mistis dalam dialog
antara manusia dengan Tuhan yang menyenangkan. misalnya, tampak pada puisi
berikut:
Tuhanku
Berdekatankah kita
Sedang rasa teramat jauh
Tapi berjauhankah kita
Sedang rasa begini dekat
Seperti langit dan warna biru
Seperti sepi menyeru
Contoh
cacophony, misalnya tampak pada kutipan berikut:
Katanya kau keturunan pisau
Katanya kau keturunan pisau yang
terengah
Katanya kau keturunan pisau yang
terengah dan mengucurkan darah
(Sapardi
Djoko Damono, “Katanya Kau” Mata Pisau, 1982)
Puisi
tersebut didominasi oleh ulangan bunyi k,p,t,s, u, au yang menimbulkan suasana
muram dan tidak menyenangkan.
2.
Diksi
Diksi
adalah pilihan kata atau frase dalam karya sastra. Setiap penyair akan memilih
kata-kata yang tepat, sesuai dengan maksud yang ingin diungkapkan dan efek
puitis yang ingin dicapai. Diksi sering kali juga menjadi ciri khas seorang
penyair atau ciri khas angkatan atau budaya tertentu.
3.
Bahasa
Kias
Bahasa
kias atau figurative language
merupakan penyimpangan dari pemakaian bahasa yang biasa, yang makna katanya
atau rangkaian katanya digunakan dengan tujuan untuk mencapai efek tertentu.
Bahasa kiasan memiliki beberapa jenis, yaitu:
a.
Personifikasi
Personifikasi
adalah kiasan yang menyamakan benda
dengan manusia, benda–benda mati dapat berbuat, dan sebagainya seperti manusia.
Contoh personifikasi antara lain adalah:
Mata pisau itu tak berkejap menatapmu
Kaun yang baru saja mengasahnya
Berfikir ia tajam untuk mengiris
apel
Yang tersedia diatas meja
Sehabis makan malam
Ia berkilat ketika terbayang olehnya
urat lehermu
Dalam
kutipan tersebut pisau dipersonifikasikan mampu menatap dan membayangkan objek
srperti halnya manusia. Personifikasi mempunyai efek untuk memperjelas imaji
(gambaran angan) pembaca karena dengan menyamakan hal–hal nonmanusia dengan
manusia, empati pembaca mudah ditimbulkan karena pembaca merasa akrab dengan
hal-hal yang digambarkan atau disampaikan dalam puisi tersebut.
b.
Metafora
Metafora
adalah kiasan yang menyatakan sesuatu sebagai hal yang sebandig dengan hal
lain, yang sesungguhnya tidak sama. Dalam sebuah metafora terdapat dua unsur,
yaitu pembanding (vehiche) dan yang dibandingkan (tenor). Dalam hubungannya dengan kedua unsur tersebut, maka
terdapat dua jenis metafora, yaitu metafora eksplisit dan metafora implisit. Disebut
metafora eksplisit apabila unsur pembanding dan yang dibandigkan disebutkan.
Misalnya cinta adalah bahasa yang lekas jadi pudar. Cinta sebagai hal yang
dibandingkan dan bahasa yang lekas jadi pudar sebagai pembandingnya. Disebut
metafora implisit, apabila hanya memiliki unsur pembanding saja misalnya sambal
tomat pada mata, untuk mengatakan mata yang merah, sebagai hal yang
dibandingkan. Metafora tampak pada contoh puisi berikut:
Perjalanan Ini
Menyusuri langsai langsai kehidupan
Menyusuri lukademi luka
Menyusuri gigiran abad padang
padang lengang
Menyusuri matahari
Dan laut abadi dahsyat sunyi
Dalam
puisi tersebut, perjalanan hidup manusia disamakan dengan menyusuri langsai
kehidupan, luka, padang lenggang, matahari,
juga lautan yag sunyi.
c.
Metonimia
Metonimia
diartikan sebagai pengertian yang satu dipergunakan sebagai pengertian yang
lain yang berdekatan. Contoh metonimia adalah: akhirnya kau dengar juga pesan
si tua itu, Nuh
Si
tua merupakan metonimia dari Nuh.Contoh lain : tetapi si raksasa itu ayahmu
sendiri… (“Benih”, Subagio Sastrowardoyo). Si Raksasa merupakan metonimia dari
Rahwana. Metonimia berfungsi untuk memperjelas imaji. Melalui metonimia
memperjelas keadaan hal hal yang ingin disampaikan, seperti tampak pada
puisi benih gambaran tentang Rahwana semakin jelas karena
dinyatakan sebagai si raksasa.
d.
Sinekdoks
Sinekdoks
merupakan bentuk kiasan yang mirip dengan metonemia, yaitu pengertian yang satu
dipergunakan untuk yang lain. Sinekdoks dibedakan menjadi dua jenis,yaitu totum
pro parte dan part pro toto. Disebut totum pro. Dikatakan parte apabila
keseluruhan dipergunakan untuk menyebut atau mewakili sebagian. Sinekdoks
nampak digunakan oleh Emha Ainun Najib pada puisi “2”: Kami tak gentar pada apa pun di bawah tangan-Mu. Dalam baris tersebut
tangan Mu merupakan part pro toto yang digunakan untuk menyebut keesaan yang
dipegang Tuhan. Penggunaan sinekdoks ini membuat gambaran lebih kongkret.
Sineksoks totum pro parte misalnya tampak pada: seluruh hari, seluruh waktu hanya mengucap nama-Mu, merupakan
sinekdoks yang mewakili bahwa sebagian besar (belum tentu seluruh) hari dan
waktu digunakan untuk menyebut nama Allah.
e.
Simile
Simile
(perumpamaan) merupakan kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain yang
menggunakan kata pembanding seperti bagai, seperti, laksana, semisal, seumpama,
sepantun, atau kata–kata pembanding lainnya.
f.
Alegori
Alegori
adalah cerita kiasan atau lukisan yang mengiaskan hal lain atau kejadian lain.
Alegori pada dasarnya merupakan bentuk metafora yang diperpanjang. Perhatikan
contoh alegori berikut:
Akulah si telaga
berlayarlah di atasnya
Berlayarlah menyibakkan riak-riak
kecil yang menggerakkan bunga bunga padma
berlayarlah sambil memandang
harumnya cahaya
sesampai di seberang sanaa
tinggalkan begitu saja perahumu biar aku yang menjaganya
Puisi
tersebut merupakan alegoris yang mengiaskan perjalanan hidup manusia seperti
halnya berlayar di atas telaga, dan tubuh manusia dikiaskan sebagai perahu,
yang akan ditinggalkan di dunia setelah manusia mati.
g.
Citraan
Citraan
(imagery) merupakan gambaran-gambaran
angan dalam puisi yang ditimbulkan oleh efek kata-kata. Ada bermacam-macam
jenis citraan, sesuai dengan indra yang digunakannya, yaitu (1) citraan
penglihatan (visual imagery), (2)
citraan pendengaran (auditory imagery),
(3) citraan rabaan (thermal imagery), (4) citraan pencecapan (tactile imagery), (5)
citraan penciuman (olfactory
imagery), (6) citraan gerak (kinesthetic
imagery).
Contoh
citraan penglihatan adalah:
Kubiarkan cahaya bintang memilikimu
Kubiarkan angin, yang pucat dan tak
habis-habisnya
Gelisah, tiba-tiba menjelma
isyarat, merebutmu
Pada
puisi di atas tampak citraan penglihatan karena dalam bayangan angan pembaca
seolah-olah melihat cahaya bintang, juga angin yang pucat.
Citraan
pendengaran dapat dirasakan pada kutipan berikut:
Sejuk pun singgah
Memeluk nisan demi nisan
Gerimis sore memetik kecapi
Diamku membuat air laut tersibak
“Penyair, lewatlah bertongkat
sehelai benang!
Mencari sarang angin”...
Pada
puisi tersebut, dalam bayangan angan pembaca, seperti mendengar bunyi gerimis
sebagaimana bunyi kecapi dan suara laut mengatakan ’’Penyair, lewatlah bertongkat sehelai benang! Mencari sarang angin.”
Contoh
citraan rabaan adalah pada: Sejuk pun
singgah, yang seolah-olah pembaca dapat merasakan kesejukan, seperti yang
dirasakan nisan-nisan dalam puisi tersebut.
Citraan
pencecapan dapat dirasakan pada:
ingin kuhalau hidup yang terasa
pahit tembakau, berganti manisnya madu....
Citraan
penciuman dapat dirasakan pada:
kini kuhirup bau senja, bau
kandil-kandil dan pesta/ bau pembebasan,... bau yang sunyi...
Citraan gerak dapat dirasakan pada:
Akulah si telaga
berlayarlah di atasnya
berlayarlah menyibakkan riak-riak
kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma
4.
Sarana
Retorika
Sarana
retorika atau rhetorical devices merupakan muslihat intelektual, yang dibedakan
menjadi beberapa jenis, yaitu:
a.
Hiperbola
Hiperbola adalah gaya bahasa yang
menyatakan sesuatu secara berlebih-lebihan. Contoh: dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan hati tak
jatuh.... Kata seribu dalam
pernyataan tersebut merupakan bentuk hiperbola.
b.
Ironi
Ironi merupakan pernyataan yang
mengandung makna yang bertentangan dengan apa yang dinyatakannya. Contoh ironi
adalah: sebenarnya aku benci rumah/ yang
memberiku kerinduan untuk pulang/.... Di sini ada hal yang bertolak
belakang, antara benci dan rindu terhadap rumah.
c.
Ambiguitas
Ambiguitas adalah pernyataan yang
mengandung makna ganda ( ambigu). Contoh ambiguitas antara lain: Tuan, Tuhan bukan? Tunggu sebentar/ says
sedang keluar. Dalam pernyataan tersebut terdapat ambiguitas karena dalam
logika biasa, tidak akan terjadi si aku yang sedang ke luar, dapat menyapa
Tuhan. Ambiguitas tersebut antara lain akan menyatakan seseorang yang tidak
(belum) siap untuk menemui Tuhan, karena mungkin masih perlu membersihkan
dirinya.
d.
Paradoks
Paradoks merupakan pernyataan yang
memiliki makna yang bertentangan dengan apa yang dinyatakan. Contohnya antara
lain: tidak setiap derita/ jadi luka/
tidak setiap sepi/ jadi duri.... Pada pernyataan tersebut terdapat
paradoks, karena menyangkal kenyataan yang umum terjadi (setiap derita pada
umumnya melukai, setiap sepi pada umumnya menyakitkan).
e.
Litotes
Litotes adalah penyataan yang
menganggap sesuatu lebih kecil dari realitas yang ada. Litotes merupakan
kebalikan dari hiperbola. Contohnya antara lain:
inilah lagu yang seder-hana/
untuk-Mu/
Denting-denting rawan/ jiwa yang
me-layang-layang...
Pernyataan
tersebut mengandung litotes karena merendahkkan ( mengganggap kecil) lagu
(pujian) yang disampaikan kepada Tuhan.
f.
Elipsis
Elipsis merupakan pernyataan yang
tidak diselesaikan, tetapi ditandai dengan .... (titik-titik). Contohnya: biarkan waktu berlalu, karena aku
hanyalah... Pernyataan tersebut tidak dilanjutkan. Elipsis banyak dipakai
pada beberapa puisi lama.
5.
Bentuk
Visual
Bentuk visual merupakan salah satu
unsur puisi yang paling mudah dikenal. Bentuk visual meliputi penggunaan
tipografi dan susunan baris. Bentuk visual pada umumnya mensugesti
(berhubungan) dengan makna puisi. Pada saat ini bentuk visual puisi bermacam-macam.
Berikut merupakan contoh bentuk visual puisi:
a.
Bentuk
Visual seperti Prosa
Saudara
Kembarku
Kalau ada daham-daham terdengar di
malam hari, aku tabu itu saudara kembarku. la menanti aku di pekarangan, karena
aku melarang ia masuk. Pernah ia begitu rindu kepadaku dan tiba-tiba Nadir di
tengah keluargaku dengan tamu-tamu yang sedang berpesta merayakan hari lahirku.
Mereka semua ketakutan melihat ia duduk di dalam, karena muka saudara kembarku
sangat buruk. Aku malu dan miris ia menunggu di luar kalau mau bertemu dengan
aku.
(Subagio Sastowardoyo)
b.
Bentuk
Visual Konvensional
Hatiku
Angin
hatiku angin
mengembara mengalir terhirupnafasmu
hatiku angin menyebar
kosong tak terlihat mencemari nadi
meracun darah hingga kaku bagai patung diriku
(Evi
Idawati)
c.
Bentuk
Visual Zigzag
6.
Makna
Puisi
Makna
merupakan wilayah isi sebuah puisi. Setiap puisi pasti mengandung makna, baik
yang disampaikan secara langsung maupun secara tidak langsung, implisit atau
simbolis. Makna tersebut pada umumnya berkaitan dengan pengalaman dan
permasalahan yang dialami dalam kehidupan manusia. Ada yang berhubungan dengan
persoalan cinta asmara, cinta sufistis, kemiskinan, pemujaan terhadap tanah air
maupun tokoh-tokoh tertentu. Makna sebuah puisi, pada umumnya baru dapat
dipahami setelah seorang pembaca membaca, memahami arti tiap kata dan kiasan
yang dipakai dalam puisi, juga memperhatikan unsur-unsur puisi lain yang
mendukung makna.
B.
Unsur-unsur
Pembentuk Drama
Untuk
memahami sebuah drama, maka seorang pembaca dan calon pengkaji drama, perlu
juga mengenal dan memperhatikan unsur-unsur pembangun drama. Unsur-unsur
tersebut diantaranya:
1.
Tema
Tema
merupakan rumusan intisari cerita sebagai landasan idiil dalam menentukan arah
tujuan cerita. Sementara itu, amanat pada dasarnya merupakan pesan yang ingin
disampaikan pengarang kepada pembaca atau penonton.
2.
Alur
Alur
pada dasarnya merupakan deretan peristiwa dalam hubungan logik dan kronologik
saling berkaitan dan yang diakibatkan atau dialami oleh para pelaku. Dalam teks
drama, alur tidak diceritakan, tetapi akan divisualkan dalam panggung. Dengan
demikian, bagian terpenting dari sebuah alur drama adalah dialog dan lakuan. Penyajian
alur dalam drama diujudkan dalam urutan babak dan adegan. Babak adalah bagian
terbesar dalam sebuah lakon. Pergantian babak dalam pentas drama ditandai
dengan layar yang diturunkan atau ditutup, atau lampu panggung dimatikan
sejenak. Setelah lampu dinyalakan kembali atau layar dibuka kembali dimulailah
babak baru berikutnya. Pergantian babak biasanya menandai pergantian latar,
baik latar tempat, ruang, maupun waktu. Adegan adalah bagian dari babak. Sebuah
adegan hanya menggambarkan satu suasana. Pergantian adegan, tidak selalu
disertai dengan pergantian latar. Satu babak dapat terdiri atas beberapa adegan.
Struktur alur drama, yang oleh Aristoteles disebut sebagai alur dramatik
(dramatic plot) dibagi menjadi empat bagian, yaitu: (1) protasis (permulaan),
dijelaskan peran dan motif lakon, (2) epitasio (jalinan kejadian), dan (3)
catastasis (klimaks), peristiwa mencapai titik kulminasi.
3.
Tokoh
Tokoh
dalam drama mengacu pada watak (sifat-sifat pribadi seorang pelaku, sementara
aktor atau pelaku mengacu pada peran yang bertindak atau berbicara dalam
hubungannya dengan alur peristiwa. Cara mengemukakan watak di dalam drama lebih
banyak bersifat tidak langsung, tetapi melalui dialog dan lakuan. Hal ini
berbeda dengan yang terjadi dalam novel, watak tokoh cenderung disampaikan
secara langsung. Dalam drama, watak pelaku dapat diketahui dari perbuatan dan
tindakan yang mereka lakukan, dari reaksi mereka terhadap sesuatu situasi tertentu
terutama situasisituasi yang kritis, dari sikap mereka menghadapi suatu situasi
atau peristiwa atau watak tokoh lain. Di samping itu, watak juga terlihat dari
kata-kata yang diucapkan. Dalam hal ini ada dua cara untuk mengungkapkan
menunjukkan situasi sebuah RSJ. Untuk memahami Tatar, maka seorang pembaca
naskah drama, juga para aktor dan pekerja teater yang akan mementaskannya harus
memperhatikan keterangan tempat, waktu, dan suasana yang terdapat pada teks
samping atau teks nondialog.
4.
Dialog
(Cakapan)
Dalam
drama ada dua macam cakapan, yaitu dialog dan monolog. Disebut dialog ketika
ada dua orang atau lebih tokoh bercakap-cakap. Disebut monolog ketika seorang
tokoh bercakap-cakap dengan dirinya sendiri. Selanjutnya, monolog dapat
dibedakan lagi menjadi tiga macam, yaitu monolog yang membicarakan hal-hal yang
sudah lampau, soliloqui yang membicarakan hal-hal yang akan datang, dan aside
(sampingan) untuk menyebut percakapan seorang diri yang ditujukan kepada
penonton (audience). Dialog dan monolog merupakan bagian penting dalam drama,
karena hampir sebagian besar teks drama didominasi oleh dialog dan monolog.
Itulah yang membedakan teks drama dengan novel dan puisi.
5.
Lakuan
Lakuan
merupakan kerangka sebuah drama. Lakuan harus berhubungan dengan plot dan watak
tokoh. Lakuan yang seperti itu disebut sebagai lakuan yang dramatik. Dalam
sebuah drama, laku tidak selamanya badaniah, dengan gerak-gerik tubuh, tetapi
dapat juga bersifat batiniah, atau laku batin, yaitu pergerakan yang terjadi
dalam batin pelaku. Dalam hal ini gerakan ituhanya dihasilkan oleh dialog.
Dialog akan mengggambarkan perubahan atau kekusutan emosi yang terungkap dalam
sebagian dari percakapan pelakunya. Di sini situasi batin dapat pula terlihat
dari gerak-gerik fisik seseorang, yang disebut sebagai dramatik action yang
terbaik.
6.
Unsur
Cerita
Unsur
cerita meliputi plot, tokoh, dan latar; sedangkan sarana cerita meliputi judul,
sudut pandang, gaya dan nada; serta tema. Sementara itu, Luxemburg membicarakan
persoalan teks dan juru cerita, cerita, visi terhadap dunia rekaan, alur, dan
para pelaku dalam uraian mengenai teks-teks naratif. Sejumlah teori tersebut
selanjutnya menjadi dasar bagi pembahasan dan analisis teks naratif atau fiksi.
Berikut ini diuraikan unsur-unsur pembangun fiksi seperti yang disebutkan oleh
Stanton, terdiri atas tokoh, alur, latar, judul, sudut pandang, gaya dan nada,
dan tema. Berikut ini diuraikan masing-masing unsur tersebut.
7.
Tokoh
Tokoh
adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi. Tokoh dalam fiksi
merupakan ciptaan pengarang, mes-kipun dapat juga merupakan gambaran dari
orang-orang yang hidup di alam nyata. Oleh karena itu, dalam sebuah fiksi tokoh
hendaknya dihadirkan secara alamiah. Dalam arti tokohtokoh itu memiliki
“kehidupan” atau berciri “hidup”, atau memiliki derajat. Sama halnya dengan
manusia yang ada dalam alam nyata, yang bersifat tiga dimensi, maka tokoh dalam
fiksi pun hendaknya memiliki dimensi fisiologis, sosiologis, dam psikologis.
Dimensi fisiologis meliputi usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, dan ciri-ciri
tokoh. Karakter seseorang juga dapat dipahami melalui apa yang dipikirkannya.
... Jika Namnya tidak memiliki keinginan dengan usaha dan kerja keras untuk mengLibahnya,
Namnya akan tetap seperti ini. Jalan di tempat. seperti suku terasing yang
terpisah dari peradaban. Tidak pemah maju, selangkah pun. Itulah Namnya.” (Namanya
berpikir, berarti aku tetap memakai caveat sementara orang lain telah naik
pesawat). la pun berontak dan menangkis penilaian Ustaz Omar. Namnya berpikir,
bukankah setiap berangkat dan pulang dari pesantren menuju kampung halaman di
Lombok sana, ia selalu naik pesawat? Bahkan ayahnya, sang konglomerat Arab itu,
Mohamed Noufal al Katiri juga memiliki pesawat pribadi?...
Dari
kutipan tersebut tampak bahwa melalui pikirannya, tokoh Namnya
memiliki karakter sebagai orang yang lebih mengandalkan kekayaan (materi) orang
tua, dari pada kemampuan intelektual dan moralnya.
Stream of conscioussness
atau arus kesadaran merupakan cara penceritaan untuk menangkap dan melukiskan
warna-warni perkembangan karakter, yakni ketika persepsi bercampur dengan
kesadaran atau setengah kesadaran, dengan kenangan dan perasaan. Teknik ini
mencakup ragam cakapan batin yang berupa monolog dan solilokui. Monolog adalah
cakapan batin yang menjelaskan kejadian-kejadian yang sudah lampau,
peristiwa-peristiwa, dan perasaan-perasaan yang sudah terjadi, sementara
solilokui adalah cakapan batin yang mengisyaratkan hal-hal, tindakan-tindakan,
kejadian-kejadian, perasaan, dan pemikiran yang masih akan terjadi. Berikut ini
merupakan contoh penggunaan teknik Stream of conscioussness atau arus
kesadaran, yang menggambarkan karakter tokoh. Hampir sama seperti manusia
nyata, tokoh dalam fiksi pun memiliki watak. Ada dua cara menggambarkan watak
tokoh, yaitu secara langsung dan tak langsung. Selanjutnya, secara tak langsung
watak tokoh digambarkan melalui beberapa cara yaitu: (1) penamaan tokoh,
(2) cakapan, (3) penggambaran pikiran tokoh, (4) arus kesadaran, (5) pelukisan perasaan tokoh, (6) perbuatan tokoh, (7) sikap tokoh, (8)
pandangan seorang atau banyak tokoh terhadap tokoh tertentu, (9) pelukisan
fisik, dan (10) pelukisan latar. Dalam teknik naming atau pemberian nama tokoh,
nama tokoh tertentu mengisyaratkan karakter sang tokoh. Tokoh Lantip dalam Para
Priyayi, misalnya mengisyaratkan karakternya yang cerdas dan cekatan. Tokoh
Sumarah dalam Sri Sumarah, sesuai dengan karakternya sebagai wanita Jawa yang
memiliki kepasrahan dalam menjalani nasibnya. Apa yang diucapkan tokoh, baik
dalam bentuk dialog maupun monolog, seringkali menunjukkan karakternya sehingga
cakapan antartokoh dapat menunjukkan bagaimana karakter tokoh tersebut.
Contoh
1:
“Tak
bisa disangkal,” kataku, “kecantikan adalah anugrah. Namun, kecerdasan dan
kesalehan, ia lebih dari sekedar anugrah.” “Kau ingin mengatakan bahwa
kecerdasan dan kesalehan adalah di atas kecantikan?” tanya Nadia.
“Persis,”
kataku, “kesalehan bisa membentuk kecantikan. Tapi sebaliknya, kecantikan tidak
mampu menghadirkan kesalehan. Alih-alih, ia malah menjauhkan kesalehan.
Demikian halnya kecerdasan.” “Kau setuju, Zakky?” tanya Nadia. Zakky terkesiap.
Sebenarnya ia sedang asyik menikmati suara Nadia yang berdecak-decak...
Dari
kutipan tersebut tampak karakter tokoh (:Jora) yang menjunjung tinggi
kecerdasan dan kesalehan.
Contoh
2:
Lalu
dia bercerita mengenai kehancuran perkawinannya dengan nada mengangis. Saya
diam, tidak sampai hati memberi alasan. Tapi terusterang saya ingin merampok
istrinya. Saya ingin berkata kepada Wayne, “Hai, pengarang Wayne Danton,
dengarlah apa yang ingin saya katakan. Saya ingin pada suatu ketika melihat
istri sampean memakai dandanan India. Kemudian saya ingin pada suatu hari
melihat istri sampean memakai dandanan Parsi seperti dalam cerita seribu satu
malam...
Memang
setiap kali berbaring di padang rumput, Olenka mengenakan pakaian renang. Tapi
setiap ada orang lewat, termasuk saya, dia menuntup tubuhnya dengan selimut.
Tindakannya menunjukkan seolah dia menganggap orang lain seperti lalat yang
ingin bertengger di tubuhnya. Karena itu saya sering memberi kuasa kepada otak
saya untuk membayangkan Olenka sedang mengenakan pakaian renang. (Budi Darma,
Olenka, 1990)
Dari
kutipan tersebut tampak penggunaan teknik aras kesadaran, dalam bentuk monolog
dan imajinasi yang membaur antara kesadaran atau setengah kesadaran menunjukkan
karakter tokoh Fanton yang memiliki ingin selalu superior dan menganggap orang
lain sebagai objek yang dapat ditundukkan dan diatur sesuai dengan keinginannya.
8.
Alur
(Plot)
Alur
atau plot adalah rangkaian peristiwa yang disusun berdasarkan hubungan
kausalitas. Secara garis besar alur dibagi dalam tiga bagian, yaitu awal,
tengah, dan akhir. Secara sederhana, alur dapat digambarkan sebagai berikut:
Bagian
awal berisi eksposisi yang mengandung instabilitas yang dan konfiks. Bagian
tengah mengandung klimaks yang merupakan puncak konflik. Bagian akhir
mengandung denoument (penyelesaian atau pemecahan masalah).
Plot
memiliki sejumlah kaidah, yaitu plausibilitas (kema-sukakalan), surprise (kejutan), suspense, unity
(keutuhan). Rangkaian peristiwa disusun secara masuk akal, meskipun masuk akal
di sini tetap dalam kerangka fiksi. Suatu cerita dikatakan masuk akal apabila
cerita itu memiliki kebenaran, yakni benar bagi diri cerita itu sendiri.
Dalam
cerpen “Mereka Bilang, Saya Monyet” karya Djenar Maesa Ayu, gambaran tokoh
manusia laki-laki berekor anjing, babi atau kerbau, berbulu serigala, landak
atau harimau merupakan hal yang masuk akal, karena hal itu menunjuk pada
manusia yang secara fisik manusia, tetapi memiliki karakter seperti binatang.
Sepanjang
hidup saya melihat manusia berkaki empat. Berekor anjing, babi atau kerbau.
Berbulu serigala, landak atau harimau. Dan berkepala ular, banteng atau
keledai. Namun tetap saja mereka bukan binatang. Cara mereka menyantap hidangan
di depan meja makan sangat benar. Cara mereka berbicara selalu menggunakan
bahasa dan sikap yang sopan... ( Djenar Maesa Ayu, “Mereka Bilang, Saya Monyet”
)
Dengan
adanya surprise (kejutan), maka
rangkaian peristiwa menjadi menarik. Di samping itu, kejutan juga ber-fungsi
untuk memperlambat atau mempercepat klimaks.
Plot
dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Sesuai dengan penyusunan peristiwa atau
bagian-bagiannya, dikenal plot kronologis atau plot progresif, dan plot
regresif atau flash back atau sorot
balik. Dalam plot progresif peristiwa disusun: awal-tengah-akhir, sementara
pada plot regresif alur disusun sebaliknya, misalnya: tengah-awal-akhir, atau
akhirawal-tengah.
Dilihat
dari akhir cerita dikenal plot terbuka dan plot tertutup. Plot disebut tertutup
ketika sebuah cerita memiliki akhir (penyelesaian) yang jelas. Misalnya novel
Siiti Nurbaya atau Salah Asuhan, dengan akhir cerita yang jelas, yaitu nasib
tokoh utamanya yang berakhir tragis. Sitti Nurbaya gagal menikah dengan Samsul
Bachri, sementara Hanafi bunuh diri karena ditolak kembali ke dalam keluarga
besarnya.
Dilihat
dari kuantitasnya, terdapat plot tunggal dan plot jamak. Plot disebut tunggal
ketika rangkaian peristiwa hanya mengandung satu peristiwa primer, sementara
alur dianggap jamak ketika mengandung berbagai beristiwa primer dan peristiwa
lain (minor).
Dilihat
dari kualitasnya, dikenal plot rapat dan plot longgar. Disebut plot rapat
apabila plot utama cerita tidak memiliki celah yang memungkinkan yang
memungkinkan untuk disisipi plot lain. Sebaliknya, sebuah plot dianggap longgar
apabila ia memiliki kemungkinan adanya penyisipan plot lain. Pada beberapa
novel, misalnya Larung terdapat sisipan cerita yang merupakan ringkasan dari
sebuah novel Perancis, Histoire d’ 0 karya Paulin Reage. Cerita tersebut muncul
dalam ingatan Yasmin ketika dia mencoba memahami gejala masokisme yang banyak
dinikmati kaum perempuan meskipun berada dalam dominasi patriarkhi.
9.
Latar
(setting)
Dalam
fiksi, latar dibedakan menjadi tiga macam, yaitu latar tempat, waktu, dan
sosial. Latar tempat berkaitan dengan masalah geografis. Di lokasi mana
peristiwa terjadi, di desa apa, kota apa, dan sebagainya. Latar waktu berkaitan
dengan masalah waktu, hari, jam, maupun historis. Latar sosial berkaitan dengan
kehidupan masyarakat.
Latar
memiliki fungsi untuk memberi konteks cerita. Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa sebuah cerita terjadi dan dialami oleh tokoh di suatu tempat tertentu,
pada suatu masa, dan lingkungan masyarakat tertentu. Novel Jalan Menikung,
misalnya berlatar tempat, antara lain Jakarta, Amerika, dan Padang. Berlatar
waktu masa Orde Baru, lebih kurang 1985-an, karena ada bagian teks yang
menjelaskan Eko, anak Harimurti, yang pada masa G30/ PKI tahun 1965-an, pada
saat itu telah berumur 20-an. Latar sosial novel tersebut antara lain adalah
keluarga Jawa, juga kondisi sosial ma-syarakat menengah atas di Jakarta.
10.
Judul
Judul
merupakan hal pertama yang paling mudah dikenal oleh pembaca karena sampai saat
ini tidak ada karya yang tanpa judul. Judul sering kali mengacu pada tokoh,
latar, tema, maupun kombinasi dari beberapa unsur tersebut. Judul Sitti
Nurbaya, Saman, Larung, misalnya mengacu pada tokoh. Jalan Menikung, Belenggu,
dan Ziarah, mengacu pada tema. Senja di Jakarta mengacu pada latar. Sebuah
judul biasanya dipilih oleh pengarang dengan alasan kemenarikan.
11.
Sudut
Pandang (point of view)
Sudut
pandang memasalahkan siapa yang bercerita. Sudut pandang dibedakan menjadi
sudut pandang orang pertama dan orang ketiga. Masing-masing sudut pandang
tersebut kemudian dibedakan lagi menjadi:
a.
sudut pandang first person central atau akuan sertaan;
b.
sudut pandang first person peripheral atau akuan taksertaan;
c.
sudut pandang third person omniscient atau diaan mahatahu;
d.
sudut pandang third person limited atau diaan terbatas.
Pada
sudut pandang first person central
atau akuan sertaan, cerita disampaikan oleh tokoh utama, karena cerita dilihat
dari sudut pandangnya, maka dia memakai kata ganti aku. Sementara itu,
penggunaan sudut pandang akuan taksertaan terjadi ketika pencerita adalah tokoh
pembantu yang hanya muncul di awal dan akhir cerita. Penggunaan sudut pandang
akuan sertaan, misalnya tampak pada novel Olenka.
Pertemuan saya dengan seseorang,
yang kemudian saya ketahui bemama Olenka, tadi secara kebetulan ketika pada
suatu hari saya naik lift ke tingkat limabelas....
Penggunaan
sudut pandang akuan taksertaan, misalnya tampak pada novel Jala, karya Titis
Basino PI. Novel tersebut bertokoh utama Pamuji, tetapi cerita disampaikan oleh
istrinya, Maryati.
Pada
sudut pandang diaan maha tahu, pencerita berada di luar cerita dan menjadi
pengamat yang mengetahui banyak hal tentang tokoh-tokoh lain. Hal ini berbeda
dengan diaan terbatas, karena hanya tahu dan menceritakan tokoh yang menjadi
tumpuan cerita saja. Penggunaan sudut pandang ini amat jarang ditemui karena
dengan detil tokoh yang terbatas, cerita menjadi tidak hidup. Penggunaan sudut
pandang diaan maha tahu, misalnya tampak pada cerpen “Lintah” karya Djenar
Maesa Ayu.
Tahu saya memelihara Lintah. Lintah
itu dibuatnya sebuah kandang yang mirip seperti rumah boneka berlantai dua,
lengkap dengan kamar tidur...
12.
Gaya
dan Nada
Gaya
(gaya bahasa) merupakan cara pengungkapan seorang yang khas bagi seorang
pengarang. Gaya meliputi penggunaan diksi (pilihan kata), imajeri (citraan),
dan sintaksis (pilihan pola kalimat). Nada berhubungan dengan pilihan gaya
untuk mengekspresikan sikap tertentu. Contoh:
Sepanjang hidup saya melihat
manusia berkaki empat. Berekor anjing, babi atau kerbau. Berbulu serigala,
landak atau harimau. Dan berkepala ular, banteng atau keledai. Namur tetap saja
mereka bukan binatang. Cara mereka menyantap hidangan di meja makan sangat
benar. Cara mereka berbicara selalu menggunakan bahasa dan sikap yang sopan.
Dan mereka membaca buku-buku bermutu. Mereka menulis catatan-catatan penting.
Mereka bergaun indah dan berdasi. Bahkan konon mereka mempunyai hati.
(
Djenar Maesa Ayu, “Mereka Bilang, Saya Monyet,
2003)
Pada
kutipan tersebut pengarang menggambarkan sosok manusia yang memiliki kepala dan
ekor binatang. Pilihan tersebut untuk mengekspresikan sikap dan nada pencerita
terhadap tokoh-tokoh yang diceritakan yang dimetaforkan sebagai manusia yang
memiliki karakter serupa binatang.
13.
Tema
Tema
merupakan makna cerita. Tema pada dasarnya merupakan sejenis komentar terhadap
subjek atau pokok masalah, baik secara eksplisit maupun implisit. Dalam tema
terkandung sikap pengarang terhadap subjek atau pokok cerita. Tema memiliki
fungsi untuk menyatukan unsur-unsur lainnya. Di samping itu, juga berfungsi
untuk melayani visi atau responsi pengarang terhadap pengalaman dan hubungan
totalnya dengan jagat raya.
Tema
dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu tema jasmaniah, yang berkaitan
dengan keadaan jiwa seorang manusia. Tema organik ( moral) yang berhubungan
dengan moral manusia. Tema sosial yang berhubungan dengan masalah politik,
pendidikan, dan propaganda. Tema egoik, berhubungan dengan reaksi-reaksi
pribadi yang pada umumnya menentang pengaruh sosial. Tema ketuhanan yang
berhubungan dengan kondisi dan situasi manusia sebagai makhluk sosial.
Tema
ditafsirkan melalui cara-cara berikut:
a.
Penafsir hendaknya mempertimbangkan tiap
detil cerita yang dikedepankan.
b.
Penafsiran tema hendaknya tidak
bertentangan dengan tiap detil cerita.
c.
Penafsiran tema hendaknya tidak
mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung
maupun tidak langsung.
d.
Penafsiran tema haruslah mendasarkan
pada bukti yang secara langsung ada atau yang diisyaratkan dalam cerita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar