“Satu Nama Lain Cerita”
|
Angin pagi berhembus pelan, menghempas jilbab pashmina yang
aku kenakan. Jalanan kala itu masih sepi, tertutup oleh torehan kabut putih
yang menghiasi dentuman hati. Lagi-lagi aku musti duduk sendiri, di halte bus
yang sudah 2 tahun ini menjadi tempat persinggahanku melewati dinginnya pagi.
Ya… sudah menjadi resikoku memang, di usia yang masih terbilang belia ini, AKU
dengan hanya bebekal keberanian mau tak mau
harus terjun sendiri menelusuri sebuah ujung kota yang sebelumnya tak
pernah sekalipun aku singgahi. Hal ini tak lain merupakan ambisi orang tuaku
yang ingin sekali membekali anak sulungnya dengan ilmu agama yang kuat, ya…..
salah satu jalannya dengan menyekolahkanku di sebuah Madrasah Tsanawiyah Negeri
di Pusat Kota Sana.
Suara roda bus sejenak membuyarkan lamunanku. Bergegas ku
langkahkan kaki ini untuk menapaki kotak besi itu, mataku bergerilya menelusuri
setiap kursi yang ada. Dengan secercah naluri aku sangat berharap di pagi yang
indah ini ada satu kursi yang bersedia untuk aku duduki. Masing kuingat
beberapa waktu yang lalu, karena bangun kesiangan aku musti bergelantungan di
pintu masuk bus dengan segerombolan cowok-cowok SMK, hahhh mau patah rasanya
tangan ini, sepanjang 18 kilometer harus rela bertaruh nyawa dengan berpegangan
pada dua ujung sisi pintu bis. Bisa kubayangkan jika saat itu kedua tanganku
tak kuat lagi menahan beban tubuh ini, so pasti aku sudah terjatuh di hamparan
aspal yang mengkilat kehitaman.
“Yahh…belum rejeki”, pekikku
ku telusuri dari barisan paling belakang sampai pucuk paling
depan tapi tak ada satupun yang kosong. Ya…akhirnya dengan berat hati akupun
harus berdiri di tengah-tengan barisan kursi ini.
Kurang lebih 30 menit aku berdiri. Terdengar sang kondektur
berteriak “jarakan…. Jarakan…..”, itu menandakan shift perjalanan pertamaku
pagi ini sudah berakhir. “JARAKAN” sebuah Desa kecil yang berada di kecamatan
Karangan. Tak ada yang spesial memang dari desa ini, tapi disinilah
perjuanganku menuntut ilmu yang sebenarnya dimulai.
Seperti biasa, ketika aku datang tempat ini masih sepi. Ku
tengok arloji usangku menunjukkan pukul 06.25 WIB. Terlihat dari kejauhan,
pintu kelasku sudah terbuka. Hahh…taka da orang juga di sana, akupun memilih
untuk menuju kursi taman sekolah sembari menikmati semilirnya angin pagi.
Perlahan ku coba membuka tas ranselku dan kuambil salah satu buku yang ada lalu
membacanya, entah buku apa yang kuambil haha…. hitung sebagai pegangan
dibanding aku bengong tak karuan. Angin surga menghembus dengan segarnya,
gemerisik sapu lidi menggiring dedaunan kering untuk merapatkan barisan.
“M. Fauzi Hafiz”, nama itu mengganjal otakku untuk mencerna
apa yang sedang kubaca. Nama itu adalah nama temannya kak Tian, kakak sepupuku.
Hampir setiap hari aku bertemu dengannya, karena sekolahnya searah dengan
sekolahku. Dia 2 tahun lebih tua dariku, tapi pesonanya telah menyihir hati ini
untuk mengenalnya dengan seksama. Asal kalian tahu aku adalah tipikal remaja
yang sering sekali jatuh cinta pada pandangan pertama haha…. Tapi nggak tau
kenapa setelah beberapa waktu mengenalnya aku jadi benci padanya. Hemb… dia itu
gimana ya? Susah menjelaskannya, intinya dia tipikal orang yang cuek, eh bukan
cuek ya… tapi cenderung ke kurang bisa menghargai orang lain, apa
mentang-mentang aku ini masih kecil ya jadi dia menganggapku seperti seorang
anak yang sukanya main-main hahaha. Hemb… benar apa yang pepatah katakan “Don’t judge the book by the cover”.
Jangan nilai seseorang dari penampilannya.
“Hey…bengong aja, ayo masuk kelas!!!”, suara gadis kacamata
itu menyibakkan anganku, uluran tangannya menuntunku untuk memasuki kelas.
Ya….gadis kacamata itu bernama Sinta, kami baru setahun berteman, karena pada
tahun sebelumnya dia tidak sekelas denganku. Karena emang dasarnya kami
sama-sama friendly, tak butuh waktu yang lama bagi kami untuk bisa menjadi
akrab seperti ini. Kini dia adalah salah satu sahabat, sahabat terbaikku.
Getaran handphone Nokia 3230 menggoyahkan saku celanaku. Loh
anak perempuan sekolah kok pakek celana?, haha…jangan salah sangka dulu, Asal
kalian tau karena Madrasahku bertittle Model alias Modern, maka seragam kamipun
berbeda dari sekolah lain hehe, cocok banget nih buat aku yang super duper
aktif.
“Wahhh ada pesan nih”, tengokku. Kulihat terpampang 1 buah
pesan baru di layar monitorku. Dari nomor yang tidak dikenal. “Hihhh…pasti dari
cowok yang kubayangkan tadi”, sangkaku dalam hati. Sumpah nggak ada
kapok-kapoknya sih dia, udah berulang kali kugertak masih juga SMS. Benar-benar
hilang kesabaranku kali ini. Dengan berapi-api akupun membalas SMSnya dan meminta dia agar tidak
menggangguku lagi.
Baru beberapa detik setelah SMS itu berhasil terkirim,
tiba-tiba ada nomor panggilan masuk. “Astaga inikan nomor yang tadi”, ucapku
dalam hati.
“Assalamu’alaikum”, suara di seberang sana mengucapkan
salam.
Lohhhh… suaranya kok beda ya…., jangan-jangan bapaknya lagi,
tapi kok kayak gini sihhh… ihhh bikin hatiku dag dig dug aja, hwahahahah.
“Wa’alaikumsalam”, sahutku semerdu mungkin
“gue minta ma’af kalo gue punya salah sama loe, tapi niat
gue sms loe tadi cuman pengen kenalan. Kalau loe merasa terganggu gue minta
ma’af”
Lahh…Hafiz ngomong apaan sih kok aneh banget, kenapa pakek
minta ma’af segala. Ngapain juga dia mau kenalan, terus selama ini aku abstrak
gitu, kok ini masih mau kenalan lagi. Jangan-jangan dia amnesia, atau enggak
selama ini dia menderita alzaimer. Astaga….beribu pertanyaan terngiang di otak
kecilku.
“Ini siapa sih…?, loe Hafiz kan”, tanyaku memastikan.
“Gue Hafid bukan Hafiz”, bantahnya.
“Hafid kaleee…”, tanyaku tak percaya
“Yang punya nama siapa sih? Kok jadi loe yang ngeyel?”,
gumamnya mulai kesal.
“Nahh… loe siapa sih?, jadi bingung gue”, balasku tambah
bingung hehe.
“Gue Hafid, Hafid Nur Fauzi nurid 9G temennya Mita”, tegasnya
lagi.
Haaaaa……, sejenak aku syok berat. Apa katanya tadi?, dia
Hafid, Hafid yang taun kemaren aku liat waktu basket di lapangan, yang
rambutnya kayak sasuke itu?, yang manis itu?, sumpah gak nyangka gue. Apakah
ini mimpi?. Hwaaaaa…. Dia nelpon gue?. Hahhh…mimpi apa gue semalem sampai bisa
kayak gini. Haduhhh rasanya mau terbang ke awang-awang. Terima Kasih ya Allah.
“Hallo..?”, ucapnya di ujung sana, yang serentak
menghanguskan imajinasiku.
“Eh…. Maaf ya, aku kira kamu Hafiz, M. Fauzi Hafiz, abis
namanya mirip sihhh, maaf banget ya sekali lagi”, sahutku kegirangan.
“Oke dehhh…”, balasnya dengan ceria.
Titttt…..Tittttt….Tittttt….., yah HP butut gue low bat lagi.
Selalu seperti ini disaat yang tidak tepat. Huft…kok bisa ya… Haha… terlibat
dengan nama yang sama. Hafiz dan Hafid. Ibarat kata “Habis Hafiz terbitlah
Hafid”, wkwkwk….
Jika
seorang wanita benar-benar mencintaimu
Dia
akan menyimpan segala sesuatu tentangmu di HPnya
Dan
akan tertawa bodoh sendiri ketika melihatnya
Jika
seorang wanita benar-benar mencintaimu
Dia
akan dengan sabar mendengar curhatmu saat kau benar-benar sedih
Sebab
ia tak ingin membuatmu benar-benar sendiri
Jika
seorang wanita benar-benar mencintaimu
Dia
sangat ingin hidup bersamamu
Dan
menghabiskan hari-harinya bersamamu
Sebab
kini kamu sudah menjadi bagian terpenting dalam hidupnya
“Kenapa vi..kok senyam-senyum?”, Tanya sinta penasaran.
“Loe ya yang ngasih nomorku ke Hafid?”, tanyaku memastikan.
Aku tau pasti dia nih yang ngasih nomor gue ke Hafid.
Pasalnya kemarin aku hanya cerita ke nih orang aja nih tentang si cowok sasuke
itu.
“Iya…gimana? Udah sms_kah si Hafidnya?”, cetus Sinta
menanyakan.
Hahaha…akupun hanya tersipu malu.
“Udah…sampai merinding akunya”, jawabku lirih.
“Emang yang SMS kamu hantu?, kok sampai merinding segala.
Ihh… gimana sih kamu vi?”, protes Sinta mulai jengkel.
Hafid dan Hafiz itu jauh berbeda 360 derajat. Setelah
lumayan lama dekat dengannya aku jadi tahu, dibalik gaya Hafid yang super duper
cuek, ternyata dia tuh orangnya asik banget. Dia seorang cowok yang gemar
banget sama yang namanya anime, khususnya seorang karakter anime bernama
Naruto. Hafid 2 bulan lebih muda dariku, oleh karena itu aku menganggapnya
sebagai adik saja. Entah kenapa di dalam kamus percintaanku aku pantang banget
sama yang namanya menjalin hubungan asmara dengan cowok yang lebih muda dariku.
Bukannya apa-apa, hanya saja menurut pandanganku cowok yang lebih muda itu
pasti manja. Hahaha…tapi entah karena hukum karma atau apa, selama ini aku 75%
selalu salah sasaran dengan merasakan cinta pandangan pertama pada cowok yang
lebih muda. Tapi bukan karena dia lebih muda dariku saja, alasan lain mengapa
aku menganggapnya sebagai adik adalah, huhuhu…nyesek deh nyeritainnya,
sebenarnya dia yang manggil aku kakak duluan. Jadi, sebagai seorang spesies
yang memiliki kepekaan yang sangat tinggi, kata “kakak” tersebut bagiku
merupakan kode keras agar aku berhenti sampai di tahap itu saja, tak boleh
melewati batas. Ya ampun… ibarat kata sudah di suruh berhenti sebelum melaju.
Aku
tak tau apa yang kurasakan dalam hatiku
Saat
pertama kali ku melihatmu
Seluruh
tubuhku terpaku dan membisu
Setak
jantungku berdebar tak menentu
Aku
tau kita tak mungkin bersatu
Tapi
aku sudah bahagia
Bisa
sejenak berada di sisimu
Walau
sebenarnya aku tahu
sampai
kapanpun
Ku
takkan bisa memelukmu
Meski
seumur hidupku
Kuhabiskan
untuk menunggu di dekatmu
Terakhir kudengar dari Mita, Hafid itu ternyata masih belum
bisa move on dari Tita, mantan kekasihnya. Denger-denger sih..Hafid itu dulu
super duper suka sama Tita,hingga pada akhirnya Tita merasa kasihan sama Hafid
hingga pada endingnya Titapun menerima cinta si Hafid. Alamak…udah kayak di
sinetron aja ya.. hehehe. Tapi emang bener kata orang-orang kalau yang namanya
cinta itu nggak bisa dipaksain. Buktinya dalam waktu singkat, cinta merekapun
kandas.
“Eh fid… tipikal cewek idamanmu itu yang kayak gimana sih?”,
tulisku penasaran.
“Siapa tau kakak bisa cari’in”, sambungku basa-basi.
“Rambutnya panjang, feminim, penyayang, kalem, hemmm…apalagi
ya?, pokoknya yang kayak Hinata gitu dehhh…”, jawabnya yakin.
Wahhh…dasar ni anak, obsesinya sama anime udah stadium akhir
nih..masak nyari cewek patokannya anime. Now, waktunya koreksi diri gue, catat
baik-baik. Satu dari segi rambut, rambut gue pendek banget beberapa waktu lalu
abis aku potong model cowok. Kedua, kalo dibilang feminim gak sama sekali, jadi
condongnya aku lebih ke sakura yang hiperaktif. Dasar cowok, kalau
dipikir-pikir ya…, bukankah cewek kayak gue itu lebih tegar, gak gampang
nangis, anti manja pula. Yaudahlah… mau gimana lagi, terima dengan lapang dada
adalah kunci satu-satunya. Lagipula cintakan gak harus memiliki, tapi kalau gak
memiliki gimana bisa mencintai? Tau ahhh pusing aku jadinya.
“Ingat fid… orang yang kamu inginkan itu, belum tentu
mencintaimu. Tapi orang yang menginginkanmu sudah pasti dia mencintaimu”,
terangku sok bijak.
“oooo….gitu ya kak?”, balasnya singkat.
“Iya fid…udah dulu ya..mulai ngantuk nih, besok kita sambung
lagi…byeee”, ketikku mengakhiri.
“byeee kakak….”, balasnya lagi.
Di dalam keheningan malam itu aku berdoa.
Tuhan…
Jika
dia memang untukku, dekatkanlah….
Jika
dia memang bukan untukku, jauhkanlah…
Aku
takut…jika Engkau tetap mendekatkannya denganku…
Sedang
dia bukan untukku…
Hati
ini kelak akan berubah membencinya….
Do’aku diijabahi oleh Allah. Ternyata Hafid memang bukan
untukku saat ini. Seiring lulusnya aku dari Madrasah Tsanawiyah, perlahan
komunikasi kamipun mulai merenggang. Beberapa waktu yang lalu dia mengabariku
lewat inbox facebook. Katanya, dia melanjutkan studinya ke Madrasah Aliyah,
sedangkan aku lebih memilih untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Kejuruan. Di
sekolahku yang baru ini, apakah aku akan menemukan orang seperti Hafid lagi
ya…?, si rambut sasuke…eh… si rambut pantat ayam, katanya.
Aku
hilang arah harus melangkah
Ingin
kuberlari sampai pagi
Ingin
kukejar binary matahari
Aku
masih terdiam di sini
Aku
bisu
Terpaku
dalam lembaran mimpi
Aku
tersentak
Ketika
denting waktu memanggilku
Aku
terbangun…gelisah… hatiku resah…
Ku
cari-cari sesuatu
Hanya
ada boneka
Ketika
itu kusadari
Ada
sesuatu yang telah ergi
Aku
mencoba bertanya
Ketika
sebuah kisah cinta telah berakhir
Apa
mungkin serpihan rasa itu masih tersisa
Diantara
keduanya…???
************************
“Vio…”
Siapa sih ni cowok, sok kenal banget. Dari awal masuk setiap
papasan atau gak sengaja ngeliat atau bahkan aku gak liat sekalipun selalu saja
manggil-manggil. Kalo kenal sih gak masalah, ini juga gak kenal sama sekali.
Kalo kayak gini terus kan kesannya gue cewek apaan gitu, padahal sebisa mungkin
gue udah berusaha pura-pura gak ngeliat.
“Kurang kerjaan banget sih loe!, apa gak capek ngomong
vio…vio… melulu?”, teriakku kesal.
“Abis kamu sih…tiap hari aku panggil nggak pernah sekalipun
nengok”, belanya tak mau disalahkan.
“Emang kenapa?, hahhh….kenapa gue mesti nengok?, kenal juga
enggak”, jawabku sensi.
“Tapi gue kenal…”, balasnya tak mau mengalah.
“Kenal apaan?, gak kenal tuh guenya”, dalihku bersemangat.
“Kenal kok…buktinya gue tau nama loe wekkk…”, cetusnya
meledek ke arahku.
Hahhh…sinting ni anak, emang sejak kapan kalau tahu nama
seseorang itu bisa dikatakan kenal. Wahhh… bener-bener ngaco nih. Ya…iya dia
tau nama gue tapi gue kan gak tau namanya, dan gak akan pernah mau tau.
Hahh…udahlah ngapain juga aku ngurusin cowok kayak dia, mending aku ke ruang B
12, hari inikan hari pertamaku bertugas sebagai pengurus PMR.
“Tam…ruangannya sebelah mana sih?”, tanyaku kepada Tami,
salah satu teman sekelasku yang juga menjadi pengurus PMR.
“Itu tuh…samping tangga”, jawabnya sambil menunjuk kea rah
ruangan itu.
“Oke..”, sahutku.
Waduh, hari pertama rapat pengurus udah berani-beraninya
terlambat nih aku. Ini semua gara-gara cowok jabrik tadi. Huhhh…awas aja kalo
ketemu, bakalan gue tonjok mulutnya. Lohh…kok jadi gue yang ngarepin ketemu. Ya
ampun…ya ampun…buang hamba di rawa-rawa.
“Assalamu’alaikum…, ma’af kak terlambat tadi ada pelajaran
tambahan”, Alasanku berbonong.
“Oke gak apa-apa.., cepetan duduk!!!”, jawabnya dingin.
“Makasih kak…”, balasku sembari bergegas mencari tempat duduk.
Untung gak kena semprot. Tapi tetep saja hati ini ngerasa
gak enak sama kakak ketuanya.
“Vio…”, terdengar suara memanggilku lirih. Ya ampun, aku kok
jadi mendengar suara yang bukan-bukan. Aku menengok kesana-kemari untuk
memastikan darimana panggilan itu berasal. Astaga.., mataku tersentak melihat
sesosok orang yang tepat duduk di deretan belakangku. Hihh…cowok itu lagi sih,
ngapain dia sampai ke sini. Pliss…jangan bilang kalau dia juga jadi seorang
pengurus PMR. Ya Alloh…kenapa ada dia sih di sini.
“Hafik…jangan berisik!!! Dari tadi ngomong terus”, tegur kak
Friza si ketua PMR.
“Haha…rasain loe”, batinku. Emang enak dimarahin hahaha…,
makanya jadi cowok tuh jangan cerewet kayak ibu-ibu arisan. Whatt…apa tadi ku
dengar? Namanya siapa? Hafik?, Astaga.
“Dasar…anak BBt, tukang bubut…hahaha”, ucapnya meledek.
Rese banget sih ni anak…., oke derajat jurusan yang gue
ambil BBt (Busana Butik) emang dipandng sebelah mata oleh guru-guru dan anak
jurusan lain di SMK ini. Tapi bukan berarti mereka bisa menghina kami seenak
jidat mereka. Kami juga bisa berkarya kok…, karya kami juga bernilai tinggi,
desain-desain baju kami juga bisa dibilang mumpuni.
“Eh tolong ya dijaga mulutnya”, cetusku kesal.
Jangan mentang-mentang jurusan dia paling wow di SMK ini
lalu dia bisa seenaknya menjelekkan jurusan lain ya.
Gue
minta maa’af soal yang tadi.
Yang
gue lakuin selama ini ke loe tuh bukat buan bikin loe sebel.
Gue
cuman sebatas nyari perhatian ke loe aja kok.
Alay banget….siapa sih ini? Kok tiba-tiba ngirim pesan kayak
gini.
“Siapa?”, balasku.
“Hafik”, nama itu terbaca lagi.
Darimana ni orang dapet nomor gue?, pasti dari Abhib, sobat
gue yang satu kelas sama dia.
“Cari Perhatian katamu?, tapi car aloe tuh salah tau nggak.
Dapet perhatian juga enggak, dapet masalah iya”, sentakku.
Hafik tuh terkenal banget, terkenal karena kecelometannya
itu. Gue sampai terkena masalah karena mulut besarnya itu. Salah satu temen gue
jadi nyindir-nyindir gue gak jelas gitu, soalnya dikira selama ini gue pacaran
sama si Hafik. Wahhh…fitnah gak tu?, bilang aja kalau loe cemburu, setauku dia
sebut saja si Dita suka gitu sama Hafik, tapi di lain sisi dia gengsi untuk
mengakuinya.
“Maaf banget deh pokoknya, tapi jujur dari awal ngeliat loe
gue langsung suka sama loe. Makanya gue rela ngelakuin apapun demi dapat
perhatian dari loe. Loe mau nggak jadi pacar gue?”, ungkapnya jujur.
Wahh…wahh…main nembak aja ni bocah. Oke gue salut karena dia
jujur, tapi kenal juga masih bentar. Jujur dia tuh sebenarnya jika diperhatikan
dengan seksama manis juga hahaha. Asyik pula orangnya, tapi terkadang apa yang
dilakukannya itu malah membuat jengkel orang lain. Hemmm gimana ya?.
“Kalo loe mau merubah sifat loe yang selama ini agak kurang
baik demi gue, aku akan mencoba untuk mempertimbangkan apa yang kamu katakana
tadi”, cetusku.
Cinta itu butuh pengorbanan, apalagi demi kebaikan ya
nggak?.
“Itu sifat asli gue, kalo loe gak mau terima ya udah, emang
gini kok sifat gue”, belanya.
“Kalau sifat kamu baik, aku gak akan minta untuk ngerubah
kok. Gue juga gak maksa kok, itukan kalau loe mau”, jelasku.
Percakapan kami pun terputus disini. Entah terserah aku udah
gak peduli lagi. Lupakan dan tetaplah berjalan.
************************
Huhuhu…mana sih busnya?, hari udah mulai gelap kok gak
nongol-nongol juga. Pak Pargo sih pakek nyuruh renang di Tirta Jwalita segala,
nggak tau apa kalau rumah gue tuh jauh. Gak tau apa kalau udah sore tuh nyari
bus susah banget. Bapak lagi, di SMS dari tadi suruh jemput anaknya gak
dibalas. Kalau nggak darurat aku juga gak akan minta untuk suruh jemput. Hahh
sudahlah…kayaknya aku bakalan berkemah di sini untuk mala mini.
“vio…udah nyampai rumah?”
Huft…Hafik kok ngirim pesan lagi tumben-tumbenan. Semenjak
kejadian kemaren kami kan lost contact.
“Belum nih…masih nunggu bis, dari tadi gak ada yang lewat”,
balasku ramah.
“Ini udah sore banget lo…mana ada bis?”, pungkasnya.
Aku tau lagi, nggak usah loe kasih tau. Gue dari tadi
berdiri di sini juga karena hal itu.
“Ya…mau gimana lagi? Bapakku gak bisa jemput”, balasku
mencoba sabar.
“Loe dimana sekarang?”, tanyanya memastikan.
“di halte dekat kolam renang”, tukasku mengakhiri percakapan
di SMS.
Ya….Allah kirimkan orang buat jemput aku dong. Sumpah udah
capek hamba nungguin sesuatu yang tak kunjung datang. Oh bus….dimanakah dikau
sekarang. Aku di sini ingin pulang, huwaaaaaa. Kapok deh gue….kapok pokoknya,
gak bakal gue ikut kelas renang lagi.
“Brummmmm…”
Tiba-tiba ada orang berhelm berhenti dihadapanku.
“siapa nih?”, pekikku lirih.
Jangan-jangan penculik lagi. Alamak lindungi hamba ya Allah.
Jantung inipun berdegup dengan kencangnya. Ingin rasanya aku lari dan berteriak
meminta pertolongan. Tapi sekejap kaki dan mulut ini membatu. Mata ini hanya
bisa terpejam. Berharap suatu hal yang buruk tak akan benar-benar terjadi.
Orang itupun membuka helm yang dipakainya. “nggak capek lo
berdiri di situ dari tadi?”, ucapnya sambil tertawa. Dan perlahan mata inipun
terbuka.
“Hafik?, ngapain dia kemari”, fikirku bingung.
“Jangan bengong aja, mau balik nggak?”, sentaknya sambil
menawarkan helm yang ada di tangannya.
Subhanalloh…dia kesini jemput gue?, ya ampun baik banget ni
anak. Tanpa gue mintapun dia datang dengan sendirinya.
“Hehe…iya-iya”, sahutku mencoba untuk mencairkan suasana.
Sumpah baru pertama kali ini gue dijemput cowok yang bukan
muhrim gue. Maka dari itu gue gak berani untuk duduk deket-deket. Alhasil aku
lebih memilih untuk duduk di bagian pucuk paling belakang.
“Nyantai aja lagi vi…”, ucapnya mengawali pembicaraan.
“ggue santai kok..”, jawabku gugup. Haduh kenapa sih gue kok
kayak cacing lembek gini jawabnya. Entah antara santai atau sok santai,
pokoknya yang jelas gue berharap kita bisa cepet-cepet nyampai rumah.
“Gue mau ngerubah sifat gue”, tukas Hafik.
Heh…apa yang diucapkan Hafik. Kagak denger gue. Suaranya
kalah saing sama suara riuh kendaraan.
“Apa? Loe mau melihara rubah?, bukannya bahaya?, emang di
sini ada yang jual?”, responku sekenanya.
“Hahaha… telinga kamu tuh yang bahaya”, balasnya sambil
tertawa.
“Kenapa?”, tanyaku masih kurang jelas.
“Orang aku tadi bilang mau ngerubah sifat, kok malah jadi
mau melihara rubah. Kamu ini gimana sih vi?”, jelasnya.
Hehe….malu gue, telingaku emang sering eror di saat yang
kurang tepat.
“Bagus deh kalau gitu. Oh iya…nanti aku turunnya di pintu
masuk aja ya”, pintaku.
“Kenapa?”, tanyanya.
“Takut dimarahin ibu, nanti dikiranya kita abis maen kemana
gitu”, jelasku sejujur mungkin.
“Apa gak terlalu jauh?”, telisik Hafik.
“Enggak kok, tadi aku bawa sepeda dari rumah”, terangku
meyakinkan Hafik. Hahhhh….akhirnya nyampek juga.
“Makasih ya fik…”, ucapku mengakhiri pertemuan kali ini.
“Iya…sama-sama, jadi gimana soal tadi?”, tanyanya menunggu
jawaban.
“Soal apa?”, cetusku pura-pura lupa.
“Diterima nggak?”, tanyanya penasaran.
Aku mulai berbalik, 5 langkah meninggalkan Hafik yang masih
duduk terpatri diatas motornya.
“Oke deh…”, jawabku singkat sambil buru-buru
meninggalkannya.
Kulakukan
yang terbaik
Yang
bisa kulakukan
Untuk
orang yang telah mencintaiku
Mencintai
dengan segenap hati
Tak
peduli dengan ketidaksempurnaan
Yang
diri ini miliki
******************
Hubunganku dengan Hafik terjalin cukup singkat. Kira-kira
kurang dari 1 minggu. Di ujung perjalanan aku merasa tak cocok dengannya. Aku
sudah mencoba, mencoba untuk mencintai Hafik sepenuhnya. Tapia apa mau dikata.
Meski mulut dan otak dengan gencar memerintahkan hati ini untuk dengan tulus
mencintainya. Tapi tetap juga tak bisa. Hati ini tetap terpaut pada satu nama
dan satu cerita. “Hafid No Danna”, Bukan Hafiz ataupun Hafik. Aku berusaha
melupakannya, tapi apa daya hati ini tetap tak bisa jua. Di ujung sana aku
hanya meminta, semoga yang kuasa memberikanku suatu kesempatan, agar aku bisa
merangkai sebuah cerita yang lebih indah lagi bersamanya.
Meskipun
engkau telah pergi
Mungkin
takkan kembali
Aku
di sini
Tetap
di sini
Aku
masih rindu padamu
Aku
masih saying padamu
Meski
ku tau
Bahwa
sekarang ini
Mungkin
cintamu bukan AKU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar