Selasa, 24 Oktober 2017

PENULISAN KREATIF: Cerpen Satu Nama Lain Cerita (Semester 5)



“Satu Nama Lain Cerita”
 
Angin pagi berhembus pelan, menghempas jilbab pashmina yang aku kenakan. Jalanan kala itu masih sepi, tertutup oleh torehan kabut putih yang menghiasi dentuman hati. Lagi-lagi aku musti duduk sendiri, di halte bus yang sudah 2 tahun ini menjadi tempat persinggahanku melewati dinginnya pagi. Ya… sudah menjadi resikoku memang, di usia yang masih terbilang belia ini, AKU dengan hanya bebekal keberanian mau tak mau  harus terjun sendiri menelusuri sebuah ujung kota yang sebelumnya tak pernah sekalipun aku singgahi. Hal ini tak lain merupakan ambisi orang tuaku yang ingin sekali membekali anak sulungnya dengan ilmu agama yang kuat, ya….. salah satu jalannya dengan menyekolahkanku di sebuah Madrasah Tsanawiyah Negeri di Pusat Kota Sana.
Suara roda bus sejenak membuyarkan lamunanku. Bergegas ku langkahkan kaki ini untuk menapaki kotak besi itu, mataku bergerilya menelusuri setiap kursi yang ada. Dengan secercah naluri aku sangat berharap di pagi yang indah ini ada satu kursi yang bersedia untuk aku duduki. Masing kuingat beberapa waktu yang lalu, karena bangun kesiangan aku musti bergelantungan di pintu masuk bus dengan segerombolan cowok-cowok SMK, hahhh mau patah rasanya tangan ini, sepanjang 18 kilometer harus rela bertaruh nyawa dengan berpegangan pada dua ujung sisi pintu bis. Bisa kubayangkan jika saat itu kedua tanganku tak kuat lagi menahan beban tubuh ini, so pasti aku sudah terjatuh di hamparan aspal yang mengkilat kehitaman.
“Yahh…belum rejeki”, pekikku
ku telusuri dari barisan paling belakang sampai pucuk paling depan tapi tak ada satupun yang kosong. Ya…akhirnya dengan berat hati akupun harus berdiri di tengah-tengan barisan kursi ini.
Kurang lebih 30 menit aku berdiri. Terdengar sang kondektur berteriak “jarakan…. Jarakan…..”, itu menandakan shift perjalanan pertamaku pagi ini sudah berakhir. “JARAKAN” sebuah Desa kecil yang berada di kecamatan Karangan. Tak ada yang spesial memang dari desa ini, tapi disinilah perjuanganku menuntut ilmu yang sebenarnya dimulai.
Seperti biasa, ketika aku datang tempat ini masih sepi. Ku tengok arloji usangku menunjukkan pukul 06.25 WIB. Terlihat dari kejauhan, pintu kelasku sudah terbuka. Hahh…taka da orang juga di sana, akupun memilih untuk menuju kursi taman sekolah sembari menikmati semilirnya angin pagi. Perlahan ku coba membuka tas ranselku dan kuambil salah satu buku yang ada lalu membacanya, entah buku apa yang kuambil haha…. hitung sebagai pegangan dibanding aku bengong tak karuan. Angin surga menghembus dengan segarnya, gemerisik sapu lidi menggiring dedaunan kering untuk merapatkan barisan.
“M. Fauzi Hafiz”, nama itu mengganjal otakku untuk mencerna apa yang sedang kubaca. Nama itu adalah nama temannya kak Tian, kakak sepupuku. Hampir setiap hari aku bertemu dengannya, karena sekolahnya searah dengan sekolahku. Dia 2 tahun lebih tua dariku, tapi pesonanya telah menyihir hati ini untuk mengenalnya dengan seksama. Asal kalian tahu aku adalah tipikal remaja yang sering sekali jatuh cinta pada pandangan pertama haha…. Tapi nggak tau kenapa setelah beberapa waktu mengenalnya aku jadi benci padanya. Hemb… dia itu gimana ya? Susah menjelaskannya, intinya dia tipikal orang yang cuek, eh bukan cuek ya… tapi cenderung ke kurang bisa menghargai orang lain, apa mentang-mentang aku ini masih kecil ya jadi dia menganggapku seperti seorang anak yang sukanya main-main hahaha. Hemb… benar apa yang pepatah katakan “Don’t judge the book by the cover”. Jangan nilai seseorang dari penampilannya.
“Hey…bengong aja, ayo masuk kelas!!!”, suara gadis kacamata itu menyibakkan anganku, uluran tangannya menuntunku untuk memasuki kelas. Ya….gadis kacamata itu bernama Sinta, kami baru setahun berteman, karena pada tahun sebelumnya dia tidak sekelas denganku. Karena emang dasarnya kami sama-sama friendly, tak butuh waktu yang lama bagi kami untuk bisa menjadi akrab seperti ini. Kini dia adalah salah satu sahabat, sahabat terbaikku.
Getaran handphone Nokia 3230 menggoyahkan saku celanaku. Loh anak perempuan sekolah kok pakek celana?, haha…jangan salah sangka dulu, Asal kalian tau karena Madrasahku bertittle Model alias Modern, maka seragam kamipun berbeda dari sekolah lain hehe, cocok banget nih buat aku yang super duper aktif.
“Wahhh ada pesan nih”, tengokku. Kulihat terpampang 1 buah pesan baru di layar monitorku. Dari nomor yang tidak dikenal. “Hihhh…pasti dari cowok yang kubayangkan tadi”, sangkaku dalam hati. Sumpah nggak ada kapok-kapoknya sih dia, udah berulang kali kugertak masih juga SMS. Benar-benar hilang kesabaranku kali ini. Dengan berapi-api akupun  membalas SMSnya dan meminta dia agar tidak menggangguku lagi.
Baru beberapa detik setelah SMS itu berhasil terkirim, tiba-tiba ada nomor panggilan masuk. “Astaga inikan nomor yang tadi”, ucapku dalam hati.
“Assalamu’alaikum”, suara di seberang sana mengucapkan salam.
Lohhhh… suaranya kok beda ya…., jangan-jangan bapaknya lagi, tapi kok kayak gini sihhh… ihhh bikin hatiku dag dig dug aja, hwahahahah.
“Wa’alaikumsalam”, sahutku semerdu mungkin
“gue minta ma’af kalo gue punya salah sama loe, tapi niat gue sms loe tadi cuman pengen kenalan. Kalau loe merasa terganggu gue minta ma’af”
Lahh…Hafiz ngomong apaan sih kok aneh banget, kenapa pakek minta ma’af segala. Ngapain juga dia mau kenalan, terus selama ini aku abstrak gitu, kok ini masih mau kenalan lagi. Jangan-jangan dia amnesia, atau enggak selama ini dia menderita alzaimer. Astaga….beribu pertanyaan terngiang di otak kecilku.
“Ini siapa sih…?, loe Hafiz kan”, tanyaku memastikan.
“Gue Hafid bukan Hafiz”, bantahnya.
“Hafid kaleee…”, tanyaku tak percaya
“Yang punya nama siapa sih? Kok jadi loe yang ngeyel?”, gumamnya mulai kesal.
“Nahh… loe siapa sih?, jadi bingung gue”, balasku tambah bingung hehe.
“Gue Hafid, Hafid Nur Fauzi nurid 9G temennya Mita”, tegasnya lagi.
Haaaaa……, sejenak aku syok berat. Apa katanya tadi?, dia Hafid, Hafid yang taun kemaren aku liat waktu basket di lapangan, yang rambutnya kayak sasuke itu?, yang manis itu?, sumpah gak nyangka gue. Apakah ini mimpi?. Hwaaaaa…. Dia nelpon gue?. Hahhh…mimpi apa gue semalem sampai bisa kayak gini. Haduhhh rasanya mau terbang ke awang-awang. Terima Kasih ya Allah.
“Hallo..?”, ucapnya di ujung sana, yang serentak menghanguskan imajinasiku.
“Eh…. Maaf ya, aku kira kamu Hafiz, M. Fauzi Hafiz, abis namanya mirip sihhh, maaf banget ya sekali lagi”, sahutku kegirangan.
“Oke dehhh…”, balasnya dengan ceria.
Titttt…..Tittttt….Tittttt….., yah HP butut gue low bat lagi. Selalu seperti ini disaat yang tidak tepat. Huft…kok bisa ya… Haha… terlibat dengan nama yang sama. Hafiz dan Hafid. Ibarat kata “Habis Hafiz terbitlah Hafid”, wkwkwk….
Jika seorang wanita benar-benar mencintaimu
Dia akan menyimpan segala sesuatu tentangmu di HPnya
Dan akan tertawa bodoh sendiri ketika melihatnya
Jika seorang wanita benar-benar mencintaimu
Dia akan dengan sabar mendengar curhatmu saat kau benar-benar sedih
Sebab ia tak ingin membuatmu benar-benar sendiri
Jika seorang wanita benar-benar mencintaimu
Dia sangat ingin hidup bersamamu
Dan menghabiskan hari-harinya bersamamu
Sebab kini kamu sudah menjadi bagian terpenting dalam hidupnya

“Kenapa vi..kok senyam-senyum?”, Tanya sinta penasaran.
“Loe ya yang ngasih nomorku ke Hafid?”, tanyaku memastikan.
Aku tau pasti dia nih yang ngasih nomor gue ke Hafid. Pasalnya kemarin aku hanya cerita ke nih orang aja nih tentang si cowok sasuke itu.
“Iya…gimana? Udah sms_kah si Hafidnya?”, cetus Sinta menanyakan.
Hahaha…akupun hanya tersipu malu.
“Udah…sampai merinding akunya”, jawabku lirih.
“Emang yang SMS kamu hantu?, kok sampai merinding segala. Ihh… gimana sih kamu vi?”, protes Sinta mulai jengkel.
Hafid dan Hafiz itu jauh berbeda 360 derajat. Setelah lumayan lama dekat dengannya aku jadi tahu, dibalik gaya Hafid yang super duper cuek, ternyata dia tuh orangnya asik banget. Dia seorang cowok yang gemar banget sama yang namanya anime, khususnya seorang karakter anime bernama Naruto. Hafid 2 bulan lebih muda dariku, oleh karena itu aku menganggapnya sebagai adik saja. Entah kenapa di dalam kamus percintaanku aku pantang banget sama yang namanya menjalin hubungan asmara dengan cowok yang lebih muda dariku. Bukannya apa-apa, hanya saja menurut pandanganku cowok yang lebih muda itu pasti manja. Hahaha…tapi entah karena hukum karma atau apa, selama ini aku 75% selalu salah sasaran dengan merasakan cinta pandangan pertama pada cowok yang lebih muda. Tapi bukan karena dia lebih muda dariku saja, alasan lain mengapa aku menganggapnya sebagai adik adalah, huhuhu…nyesek deh nyeritainnya, sebenarnya dia yang manggil aku kakak duluan. Jadi, sebagai seorang spesies yang memiliki kepekaan yang sangat tinggi, kata “kakak” tersebut bagiku merupakan kode keras agar aku berhenti sampai di tahap itu saja, tak boleh melewati batas. Ya ampun… ibarat kata sudah di suruh berhenti sebelum melaju.

Aku tak tau apa yang kurasakan dalam hatiku
Saat pertama kali ku melihatmu
Seluruh tubuhku terpaku dan membisu
Setak jantungku berdebar tak menentu
Aku tau kita tak mungkin bersatu
Tapi aku sudah bahagia
Bisa sejenak berada di sisimu
Walau sebenarnya aku tahu
sampai kapanpun
Ku takkan bisa memelukmu
Meski seumur hidupku
Kuhabiskan untuk menunggu di dekatmu

Terakhir kudengar dari Mita, Hafid itu ternyata masih belum bisa move on dari Tita, mantan kekasihnya. Denger-denger sih..Hafid itu dulu super duper suka sama Tita,hingga pada akhirnya Tita merasa kasihan sama Hafid hingga pada endingnya Titapun menerima cinta si Hafid. Alamak…udah kayak di sinetron aja ya.. hehehe. Tapi emang bener kata orang-orang kalau yang namanya cinta itu nggak bisa dipaksain. Buktinya dalam waktu singkat, cinta merekapun kandas.
“Eh fid… tipikal cewek idamanmu itu yang kayak gimana sih?”, tulisku penasaran.
“Siapa tau kakak bisa cari’in”, sambungku basa-basi.
“Rambutnya panjang, feminim, penyayang, kalem, hemmm…apalagi ya?, pokoknya yang kayak Hinata gitu dehhh…”, jawabnya yakin.
Wahhh…dasar ni anak, obsesinya sama anime udah stadium akhir nih..masak nyari cewek patokannya anime. Now, waktunya koreksi diri gue, catat baik-baik. Satu dari segi rambut, rambut gue pendek banget beberapa waktu lalu abis aku potong model cowok. Kedua, kalo dibilang feminim gak sama sekali, jadi condongnya aku lebih ke sakura yang hiperaktif. Dasar cowok, kalau dipikir-pikir ya…, bukankah cewek kayak gue itu lebih tegar, gak gampang nangis, anti manja pula. Yaudahlah… mau gimana lagi, terima dengan lapang dada adalah kunci satu-satunya. Lagipula cintakan gak harus memiliki, tapi kalau gak memiliki gimana bisa mencintai? Tau ahhh pusing aku jadinya.
“Ingat fid… orang yang kamu inginkan itu, belum tentu mencintaimu. Tapi orang yang menginginkanmu sudah pasti dia mencintaimu”, terangku sok bijak.
“oooo….gitu ya kak?”, balasnya singkat.
“Iya fid…udah dulu ya..mulai ngantuk nih, besok kita sambung lagi…byeee”, ketikku mengakhiri.
“byeee kakak….”, balasnya lagi.
Di dalam keheningan malam itu aku berdoa.
Tuhan…
Jika dia memang untukku, dekatkanlah….
Jika dia memang bukan untukku, jauhkanlah…
Aku takut…jika Engkau tetap mendekatkannya denganku…
Sedang dia bukan untukku…
Hati ini kelak akan berubah membencinya….
Do’aku diijabahi oleh Allah. Ternyata Hafid memang bukan untukku saat ini. Seiring lulusnya aku dari Madrasah Tsanawiyah, perlahan komunikasi kamipun mulai merenggang. Beberapa waktu yang lalu dia mengabariku lewat inbox facebook. Katanya, dia melanjutkan studinya ke Madrasah Aliyah, sedangkan aku lebih memilih untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Kejuruan. Di sekolahku yang baru ini, apakah aku akan menemukan orang seperti Hafid lagi ya…?, si rambut sasuke…eh… si rambut pantat ayam, katanya.

Aku hilang arah harus melangkah
Ingin kuberlari sampai pagi
Ingin kukejar binary matahari
Aku masih terdiam di sini
Aku bisu
Terpaku dalam lembaran mimpi
Aku tersentak
Ketika denting waktu memanggilku
Aku terbangun…gelisah… hatiku resah…
Ku cari-cari sesuatu
Hanya ada boneka
Ketika itu kusadari
Ada sesuatu yang telah ergi
Aku mencoba bertanya
Ketika sebuah kisah cinta telah berakhir
Apa mungkin serpihan rasa itu masih tersisa
Diantara keduanya…???
************************
“Vio…”
Siapa sih ni cowok, sok kenal banget. Dari awal masuk setiap papasan atau gak sengaja ngeliat atau bahkan aku gak liat sekalipun selalu saja manggil-manggil. Kalo kenal sih gak masalah, ini juga gak kenal sama sekali. Kalo kayak gini terus kan kesannya gue cewek apaan gitu, padahal sebisa mungkin gue udah berusaha pura-pura gak ngeliat.
“Kurang kerjaan banget sih loe!, apa gak capek ngomong vio…vio… melulu?”, teriakku kesal.
“Abis kamu sih…tiap hari aku panggil nggak pernah sekalipun nengok”, belanya tak mau disalahkan.
“Emang kenapa?, hahhh….kenapa gue mesti nengok?, kenal juga enggak”, jawabku sensi.
“Tapi gue kenal…”, balasnya tak mau mengalah.
“Kenal apaan?, gak kenal tuh guenya”, dalihku bersemangat.
“Kenal kok…buktinya gue tau nama loe wekkk…”, cetusnya meledek ke arahku.
Hahhh…sinting ni anak, emang sejak kapan kalau tahu nama seseorang itu bisa dikatakan kenal. Wahhh… bener-bener ngaco nih. Ya…iya dia tau nama gue tapi gue kan gak tau namanya, dan gak akan pernah mau tau. Hahh…udahlah ngapain juga aku ngurusin cowok kayak dia, mending aku ke ruang B 12, hari inikan hari pertamaku bertugas sebagai pengurus PMR.
“Tam…ruangannya sebelah mana sih?”, tanyaku kepada Tami, salah satu teman sekelasku yang juga menjadi pengurus PMR.
“Itu tuh…samping tangga”, jawabnya sambil menunjuk kea rah ruangan itu.
“Oke..”, sahutku.
Waduh, hari pertama rapat pengurus udah berani-beraninya terlambat nih aku. Ini semua gara-gara cowok jabrik tadi. Huhhh…awas aja kalo ketemu, bakalan gue tonjok mulutnya. Lohh…kok jadi gue yang ngarepin ketemu. Ya ampun…ya ampun…buang hamba di rawa-rawa.
“Assalamu’alaikum…, ma’af kak terlambat tadi ada pelajaran tambahan”, Alasanku berbonong.
“Oke gak apa-apa.., cepetan duduk!!!”, jawabnya dingin.
“Makasih kak…”, balasku sembari bergegas mencari tempat duduk.
Untung gak kena semprot. Tapi tetep saja hati ini ngerasa gak enak sama kakak ketuanya.
“Vio…”, terdengar suara memanggilku lirih. Ya ampun, aku kok jadi mendengar suara yang bukan-bukan. Aku menengok kesana-kemari untuk memastikan darimana panggilan itu berasal. Astaga.., mataku tersentak melihat sesosok orang yang tepat duduk di deretan belakangku. Hihh…cowok itu lagi sih, ngapain dia sampai ke sini. Pliss…jangan bilang kalau dia juga jadi seorang pengurus PMR. Ya Alloh…kenapa ada dia sih di sini.
“Hafik…jangan berisik!!! Dari tadi ngomong terus”, tegur kak Friza si ketua PMR.
“Haha…rasain loe”, batinku. Emang enak dimarahin hahaha…, makanya jadi cowok tuh jangan cerewet kayak ibu-ibu arisan. Whatt…apa tadi ku dengar? Namanya siapa? Hafik?, Astaga.
“Dasar…anak BBt, tukang bubut…hahaha”, ucapnya meledek.
Rese banget sih ni anak…., oke derajat jurusan yang gue ambil BBt (Busana Butik) emang dipandng sebelah mata oleh guru-guru dan anak jurusan lain di SMK ini. Tapi bukan berarti mereka bisa menghina kami seenak jidat mereka. Kami juga bisa berkarya kok…, karya kami juga bernilai tinggi, desain-desain baju kami juga bisa dibilang mumpuni.
“Eh tolong ya dijaga mulutnya”, cetusku kesal.
Jangan mentang-mentang jurusan dia paling wow di SMK ini lalu dia bisa seenaknya menjelekkan jurusan lain ya.
Gue minta maa’af soal yang tadi.
Yang gue lakuin selama ini ke loe tuh bukat buan bikin loe sebel.
Gue cuman sebatas nyari perhatian ke loe aja kok.
Alay banget….siapa sih ini? Kok tiba-tiba ngirim pesan kayak gini.
“Siapa?”, balasku.
“Hafik”, nama itu terbaca lagi.
Darimana ni orang dapet nomor gue?, pasti dari Abhib, sobat gue yang satu kelas sama dia.
“Cari Perhatian katamu?, tapi car aloe tuh salah tau nggak. Dapet perhatian juga enggak, dapet masalah iya”, sentakku.
Hafik tuh terkenal banget, terkenal karena kecelometannya itu. Gue sampai terkena masalah karena mulut besarnya itu. Salah satu temen gue jadi nyindir-nyindir gue gak jelas gitu, soalnya dikira selama ini gue pacaran sama si Hafik. Wahhh…fitnah gak tu?, bilang aja kalau loe cemburu, setauku dia sebut saja si Dita suka gitu sama Hafik, tapi di lain sisi dia gengsi untuk mengakuinya.
“Maaf banget deh pokoknya, tapi jujur dari awal ngeliat loe gue langsung suka sama loe. Makanya gue rela ngelakuin apapun demi dapat perhatian dari loe. Loe mau nggak jadi pacar gue?”, ungkapnya jujur.
Wahh…wahh…main nembak aja ni bocah. Oke gue salut karena dia jujur, tapi kenal juga masih bentar. Jujur dia tuh sebenarnya jika diperhatikan dengan seksama manis juga hahaha. Asyik pula orangnya, tapi terkadang apa yang dilakukannya itu malah membuat jengkel orang lain. Hemmm gimana ya?.
“Kalo loe mau merubah sifat loe yang selama ini agak kurang baik demi gue, aku akan mencoba untuk mempertimbangkan apa yang kamu katakana tadi”, cetusku.
Cinta itu butuh pengorbanan, apalagi demi kebaikan ya nggak?.
“Itu sifat asli gue, kalo loe gak mau terima ya udah, emang gini kok sifat gue”, belanya.
“Kalau sifat kamu baik, aku gak akan minta untuk ngerubah kok. Gue juga gak maksa kok, itukan kalau loe mau”, jelasku.
Percakapan kami pun terputus disini. Entah terserah aku udah gak peduli lagi. Lupakan dan tetaplah berjalan.
************************
Huhuhu…mana sih busnya?, hari udah mulai gelap kok gak nongol-nongol juga. Pak Pargo sih pakek nyuruh renang di Tirta Jwalita segala, nggak tau apa kalau rumah gue tuh jauh. Gak tau apa kalau udah sore tuh nyari bus susah banget. Bapak lagi, di SMS dari tadi suruh jemput anaknya gak dibalas. Kalau nggak darurat aku juga gak akan minta untuk suruh jemput. Hahh sudahlah…kayaknya aku bakalan berkemah di sini untuk mala mini.
“vio…udah nyampai rumah?”
Huft…Hafik kok ngirim pesan lagi tumben-tumbenan. Semenjak kejadian kemaren kami kan lost contact.
“Belum nih…masih nunggu bis, dari tadi gak ada yang lewat”, balasku ramah.
“Ini udah sore banget lo…mana ada bis?”, pungkasnya.
Aku tau lagi, nggak usah loe kasih tau. Gue dari tadi berdiri di sini juga karena hal itu.
“Ya…mau gimana lagi? Bapakku gak bisa jemput”, balasku mencoba sabar.
“Loe dimana sekarang?”, tanyanya memastikan.
“di halte dekat kolam renang”, tukasku mengakhiri percakapan di SMS.
Ya….Allah kirimkan orang buat jemput aku dong. Sumpah udah capek hamba nungguin sesuatu yang tak kunjung datang. Oh bus….dimanakah dikau sekarang. Aku di sini ingin pulang, huwaaaaaa. Kapok deh gue….kapok pokoknya, gak bakal gue ikut kelas renang lagi.
“Brummmmm…”
Tiba-tiba ada orang berhelm berhenti dihadapanku.
“siapa nih?”, pekikku lirih.
Jangan-jangan penculik lagi. Alamak lindungi hamba ya Allah. Jantung inipun berdegup dengan kencangnya. Ingin rasanya aku lari dan berteriak meminta pertolongan. Tapi sekejap kaki dan mulut ini membatu. Mata ini hanya bisa terpejam. Berharap suatu hal yang buruk tak akan benar-benar terjadi.
Orang itupun membuka helm yang dipakainya. “nggak capek lo berdiri di situ dari tadi?”, ucapnya sambil tertawa. Dan perlahan mata inipun terbuka.
“Hafik?, ngapain dia kemari”, fikirku bingung.
“Jangan bengong aja, mau balik nggak?”, sentaknya sambil menawarkan helm yang ada di tangannya.
Subhanalloh…dia kesini jemput gue?, ya ampun baik banget ni anak. Tanpa gue mintapun dia datang dengan sendirinya.
“Hehe…iya-iya”, sahutku mencoba untuk mencairkan suasana.
Sumpah baru pertama kali ini gue dijemput cowok yang bukan muhrim gue. Maka dari itu gue gak berani untuk duduk deket-deket. Alhasil aku lebih memilih untuk duduk di bagian pucuk paling belakang.
“Nyantai aja lagi vi…”, ucapnya mengawali pembicaraan.
“ggue santai kok..”, jawabku gugup. Haduh kenapa sih gue kok kayak cacing lembek gini jawabnya. Entah antara santai atau sok santai, pokoknya yang jelas gue berharap kita bisa cepet-cepet nyampai rumah.
“Gue mau ngerubah sifat gue”, tukas Hafik.
Heh…apa yang diucapkan Hafik. Kagak denger gue. Suaranya kalah saing sama suara riuh kendaraan.
“Apa? Loe mau melihara rubah?, bukannya bahaya?, emang di sini ada yang jual?”, responku sekenanya.
“Hahaha… telinga kamu tuh yang bahaya”, balasnya sambil tertawa.
“Kenapa?”, tanyaku masih kurang jelas.
“Orang aku tadi bilang mau ngerubah sifat, kok malah jadi mau melihara rubah. Kamu ini gimana sih vi?”, jelasnya.
Hehe….malu gue, telingaku emang sering eror di saat yang kurang tepat.
“Bagus deh kalau gitu. Oh iya…nanti aku turunnya di pintu masuk aja ya”, pintaku.
“Kenapa?”, tanyanya.
“Takut dimarahin ibu, nanti dikiranya kita abis maen kemana gitu”, jelasku sejujur mungkin.
“Apa gak terlalu jauh?”, telisik Hafik.
“Enggak kok, tadi aku bawa sepeda dari rumah”, terangku meyakinkan Hafik. Hahhhh….akhirnya nyampek juga.
“Makasih ya fik…”, ucapku mengakhiri pertemuan kali ini.
“Iya…sama-sama, jadi gimana soal tadi?”, tanyanya menunggu jawaban.
“Soal apa?”, cetusku pura-pura lupa.
“Diterima nggak?”, tanyanya penasaran.
Aku mulai berbalik, 5 langkah meninggalkan Hafik yang masih duduk terpatri diatas motornya.
“Oke deh…”, jawabku singkat sambil buru-buru meninggalkannya.
Kulakukan yang terbaik
Yang bisa kulakukan
Untuk orang yang telah mencintaiku
Mencintai dengan segenap hati
Tak peduli dengan ketidaksempurnaan
Yang diri ini miliki
******************
Hubunganku dengan Hafik terjalin cukup singkat. Kira-kira kurang dari 1 minggu. Di ujung perjalanan aku merasa tak cocok dengannya. Aku sudah mencoba, mencoba untuk mencintai Hafik sepenuhnya. Tapia apa mau dikata. Meski mulut dan otak dengan gencar memerintahkan hati ini untuk dengan tulus mencintainya. Tapi tetap juga tak bisa. Hati ini tetap terpaut pada satu nama dan satu cerita. “Hafid No Danna”, Bukan Hafiz ataupun Hafik. Aku berusaha melupakannya, tapi apa daya hati ini tetap tak bisa jua. Di ujung sana aku hanya meminta, semoga yang kuasa memberikanku suatu kesempatan, agar aku bisa merangkai sebuah cerita yang lebih indah lagi bersamanya.
Meskipun engkau telah pergi
Mungkin takkan kembali
Aku di sini
Tetap di sini
Aku masih rindu padamu
Aku masih saying padamu
Meski ku tau
Bahwa sekarang ini
Mungkin cintamu bukan AKU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar