Sabtu, 15 September 2018

BAHASA INDONESIA: Tugas Individu Unsur-unsur Karya Sastra (Semester 4)


UNSUR-UNSUR KARYA SASTRA
TUGAS INDIVIDU
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Bahasa Indonesia MI/SD 2
Yang dibina oleh Mustofa, S. S., M. Pd.
11050637_1655434244688794_3266224396869722217_n.jpg









Disusun Oleh:
Nama        : Risma Nur Izzati
NIM          : 17205153002
Kelas         : PGMI-4A



JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
TULUNGAGUNG
Maret 2017



Unsur-unsur Karya Sastra Indonesia

Secara umum karya sastra (modern) khususnya prosa memiliki dua unsur pokok, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Secara lebih rincinya mari kita simak pembahasan berikut ini:
A.      Unsur Intrinsik
Ialah unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Unsur-unsur intrinsik karya sastra ada 6, meliputi:
1.        Tema
Adalah sesuatu yang menjadi pokok masalah atau pokok pikiran dari pengarang yang ditampilkan dalam karangannya.
2.        Amanat
Adalah kesan dan pesan yang dapat memberi tambahan masukan pengetahuan, pendidikan, yang bisa bermakna dalam hidup, juga memberikan hiburan, kepuasan dan kekayaan batin didalam hidup kita.
3.        Plot atau Alur
Adalah suatu jalan cerita yang menceritakan rangkaian peristiwa dari awal hingga akhir cerita.
a.        Tahap-tahap alur
1)        Tahap Perkenalan atau Ekposisi
Ialah tahap permualaan cerita yang dimulai dengan suatu kejadian, tapi belum ada ketegangan bisa di artikan perkenalan para tokoh, penggambaran tempat, fisik pelaku, dan reaksi antar pelaku.
2)        Tahap pertentangan atau konflik
Ialah tahap dimana mulai terjadi pertentangan antara pelaku-pelaku, bisa juga disebut titik pijak untuk menuju kepertentangan selanjutnya. Konflik sendiri ada 2, yaitu :
a)        Konflik Internal
Adalah konflik yang terjadi pada diri tokoh itu sendiri.
b)        Konflik Eksternal
Adalah konflik yang terjadi diluar tokoh, seperti konflik tokoh dengan tokoh, konflik tokoh dengan tuhan, konflik tokoh dengan lingkungan, konflik tokoh dengan alam, dan lain sebagainya.
3)        Tahap penanjakan konflik atau komplikasi
Ialah tahap dimana ketegangan mulai berkembang dan terasa rumit, bisa diartikan nasib tokoh sulit ditebak dan samar-samar.
4)        Tahap Klimaks
Ialah dimana tahap ketegangan mulai memuncak dan nasib pelaku mulai dapat diduga dan kadang dugaan itu tidak terbukti diakhir cerita.
5)        Tahap Penyelesaian
Ialah tahap dari akhir cerita, pada bagian ini berisi tentang penjelasan nasib-nasib tokoh setelah mengalami peristiwa puncak. Ada juga penyelesaiannya yang diserahkan kepada pembaca, jadi akhir ceritanya tanpa penyelesaian dan menggantung.
b.        Macam-Macam Alur
1)        Alur Maju
Adalah suatu peristiwa yang diutarakan dari awal hingga akhir, atau masa kini hingga masa depan.
2)        Alur Mundur atau Sorot Balik atau Flash Back
Adalah rangkaian peristiwa yang menjadi penutup atau diutarankan terlebih dahulu atau masa kini, baru menceritakan kenangan masa lalu dari salah satu tokoh.
3)        Alur Campuran
Adalah rangkaian peristiwa pokok yang diutarakan. Dalam mengutarakan peristiwa pokok pembaca diajak mengenang masa lampau, kemudian mengenang peristiwa pokok yang sedang dialami tokoh utama.
4.        Perwatakan atau Penokohan
Ialah bagaimana cara mengarang melukis watak tokoh.
a.        Cara untuk melukiskan watak tokoh
1)        Analitik
Artinya si pengarang langsung menceritakan watak tokohnya.
Contoh:
Siapa yang tidak mengenal sosok pak rian orangnya yang pintar, lucu, baik hati dan periang. Postur tubuhnya yang tidak terlalu tinggi melengkapi sosok guru yang diidolakan murid-muridnya.
2)        Dramatik
Artinya si pengarang melukiskan watak tokohnya secara tidak langsung. Bisa melalui lingkungan, tempat tinggal, dialog antar tokoh atau percakapan, tingkah laku, atau fisik, perbuatan, jalan pikiran, dan komentar tokoh lain terhadap tokoh tertentu.
Contoh :
Begitu Putri memasuki kamarnya, Pelajar kelas 3 SMP itu langsung melemparkan tasnya dan langsung langsung berbaring ditempat tidurnya tanpa melepas sepatunya terlebih dahulu (tingkah laku tokoh)
3)        Campuran
Ialah gabungan antara analitik dan dramatik. Pelaku dalam ceritanya dapat berupa benda-benda mati, binatang, dan manusia yang diinsankan.
b.        Pelaku atau tokoh dalam cerita
1)        Pelaku Utama
Ialah pelaku yang memegang peran utama dalam sebuah cerita dan selalu hadir disetiap kejadian.
2)        Pelaku Pembantu
Ialah pelaku yang berfungsi untuk membantu pelaku utama dalam subuah cerita. Bisa sebagai penantang utama, bisa juga sebagai pahlawan.
3)        Pelaku Protagonis
Ialah pelaku yang membawa watak tertentu yang membawa ide kebenaran (setia, jujur, baik hati, dan lain-lain)
4)        Pelaku Antagonis
Ialah pelaku yang menjadi penentang pelaku protogonis (pembohong, penipu, dan lain sebagainya)
5)        Pelaku Tritagonis
Ialah tokoh yang biasanya muncul sebagai tokoh ketiga dalam sebuah cerita atau bisa juga disebut tokoh penengah.
5.        Latar atau Setting
Ialah seatu keadaan yang melingkupi pelaku dalam sebuah cerita. ada 3 jenis latar, yaitu :
a.         Latar Tempat
Adalah dimana tempat pelaku berada dan cerita terjadi (dirumah, sekolah, kota, perkantoran, dan lain sebagainya)
b.        Latar Waktu
Ialah kapan cerita itu terjadi (pagi, siang, malam, sore, kamarin, besok, dan lain sebagainya)
c.         Latar suasana
Ialah bagaimana keadaan yang terjadi dalam sebuah cerita (gembira, sedih, damai, sepi, dan lain sebagainya)
6.        Sudut Pandang Pengarang
Ialah suatu posisi atau kedudukan pengarang dalam dalam sebuah cerita. Sudut pandang dibedakan menjadi 2, yaitu :
a.         Sudut Pandang orang pertama
Artinya pengarang sebagai pelaku yang terlibat langsung dalam sebuah cerita, terutama sebagai pelaku utamanya (saya, aku, kata ganti orang pertama jamak: kita, kami)
b.        Sudut Pandang orang ketiga
Adalah pengarang berada diluar cerita, ia hanya menuturkan tokoh-tokoh dilua, dan tidak terlibat dalam cerita. Pelaku utamanya (dia, ia mereka, kata ganti orang ketiga jamak, nama-nama lain).

B.       Unsur Ekstrinsik
Unsur-unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Secara lebih khusus lagi ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, tetapi tidak menjadi bagian di dalamnya. Walaupun demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkannya. Pemahaman unsur ekstrinsik suatu karya sastra, bagaimanapun, akan membantu dalam hal pemahaman makna karya itu mengingat bahwa karya sastra tak muncul dari situasi kekosongan budaya. Bentuk penyampaian moral dalam karya fiksi mungkin bersifat langsung atau tidak langsung.
Unsur-unsur ekstrinsik meliputi:
1.        Latar Belakang Penciptaan yang meliputi kapan sastra itu diciptakan.
2.        Kondisi pada saat karya sastra diciptakan Ialah keadaan masyarakat baik itu ekonomi, budaya, sosial, politik pada saat karya itu diciptakan.
3.        Pandangan hidup pengarang atau latar belakang pengarang.

Seperti yang telah kita tahu, bahwasanya karya sastra sendiri dibedakan menjadi beberapa macam. Nah, pada setiap karya sastra tersebut terdapat unsur-unsur pembentuknya, diantaranya:
A.      Unsur-Unsur Pembangun Puisi
1.        Bunyi
Bahasa puisi cenderung mendaya-gunakan unsur perulangan bunyi. Dalam puisi, bunyi memiliki peran antara lain agar puisi itu merdu jika dibaca dan dide-ngarkan, sebab, pada hakikatnya puisi adalah salah satu karya seni yang diciptakan untuk didengarkan. Mengingat pentingnya unsur bunyi, pemilihan dan penempatan kata sering kali didasarkan pada nilai bunyi. Beberapa pertimbangan tersebut antara lain adalah (1) bagaimanakah kekuatan bunyi suatu kata yang dipilih itu diperkirakan mampu memberikan atau membangkitkan tanggapan pada pikiran dan perasaan pembaca atau pendengamya; (2) bagaimanakah bunyi itu sanggup membantu memperjelas ekspresi; (3) ikut membangun suasana puisi, dan (4) mungkin juga mampu membangkitkan asosiasi-asosiasi tertentu.
Dilihat dari segi unsur bunyi itu sendiri dikenal adanya sajak sempurna, sajak paruh, aliterasi, dan asonansi. Dari posisi kata yang mendukungnya dikenal adanya sajak awal, sajak tengah (sajak dalam), dan sajak akhir. Berdasarkan hubungan antar baris dalam tiap bait dikenal adanya sajak merata (terus), sajak berselang, sajak berangkai, dan sajak berpeluk. Kadang-kadang bermacam ulangan bunyi (persajakan) tersebut dapat ditemukan dalam sebuah puisi.
Sajak sempurna adalah ulangan bunyi yang timbul sebagai akibat ulangan kata tertentu, seperti tampak pada contoh berikut:
Katanya kau keturunan pisau
Katanya kau keturunan pisau yang terengah
Katanya kau keturunan pisau yang terengah dan mengucurkan darah
Katanya kau keturunan pisau yang terengah dan mengucurkan
Pada kutipan tersebut ulangan bunyi yang ditimbulkan oleh ulangan kata, hanya terdapat pada awal-awal baris, sehingga disebut sebagai sajak paruh.
Asonansi adalah ulangan bunyi vokal yang terdapat pada baris-baris puisi, yang menimbulkan irama tertentu, sementara aliterasi dalam ulangan konsonan. Asonansi, misalnya terdapat dalam kutipan berikut:
Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti yang jauh...
Pada kutipan tersebut terdapat asonansi berupa ulangan bunyi i- a, e-a, u-a, a-i, berulang-ulang sepanjang baris-baris puisi tersebut yang menimbulkan irama sehingga puisi enak dibaca. Dalam kutipan tersebut juga terdapat aliterasi, terutama pada ulangan konsonan d, k, p, l, n, ng, r, s yang ketika dikombinasikan dengan bunyi asonansi cenderung menimbulkan irama dan suasana muram.
Sajak awal (rima awal) adalah ulangan bunyi atau persajakan yang terdapat pada tiap awal baris, sementara sajak tengah terdapat pada tengah baris, dan sajak akhir terdapat pada akhir baris.
Contoh sajak awal tersebut tampak pada kutipan berikut;
Tiang tanpa akhir tanpa apa di atasnya
Tiang tanpa topang apa di atasku
Tiang tanpa akhir tanda duka lukaku
Tiang tanpa siang tanpa malam tanpa waktu
Sajak tengah (rima tengah) tampak pada contoh berikut;
puan jadi celah celah jadi sungai sungai jadi muare muare jadi perahu perahu jadi buaye buaye jadi puake puake jadi pukau pukau jadi mau
Contoh sajak akhir (rima akhir) adalah sebagai berikut:
akan kau kau kan kah hidupmu? kau nanti kau akan kau mau kau mau
siapa yang tikam burung yang waktu
waktukutukku waktukutukku waktukutukku waktukutukku
Pada kutipan tersebut sajak akhir tampak pada per-samaan bunyi u di semua akhir baris.
Berdasarkan hubungan antarbaris terdapat sajak merata, yang ditandai pada ulangan bunyi a-a-a-a di semua akhir baris; sajak berselang, yang ditandai dengan ulangan bunyi a-b-a-b di semua akhir baris; sajak berangkai: a-a-b-b; dan berpeluk: a-b-b-a.
Contoh sajak merata tampak pada kutipan puisi berikut ini:
Mari kita bersama-sama
Naik sepeda bersuka ria
Jangan lupa ajak kawan serta
Agar hati yang sedih jadi terlupa
Contoh sajak berselang adalah pada kutipan pantun berikut ini.
Berakit-rakit ke hulu
Berenang-renang ke ketepian
Bersakit-sakit dahulu
Bersenang- senang kemudian
Contoh sajak berangkai (a-a-b-b) tampak pada contoh berikut ini:
perahu jadi buaye buaye jadi puake puake jadi pukau pukau jadi mau
Contoh sajak berpeluk (a-b-b-a) tampak pada contoh berikut ini:
Gelombang menari ditingkah angin
Camar-camar berebut ikan
Biro laut biri ikan-ikan
Aku pun ingin menjelma angin
Yang perlu diingat ulangan bunyi dalam puisi, bukan semata-mata sebagai hiasan untuk menimbulkan nilai keindahan, tetapi juga memiliki fungsi untuk mendukung makna dan menimbulkan suasana tertentu. Oleh karena itu, sesuai dengan suasana yang ditimbulkan oleh ulangan bunyi dikenal bunyi efony (bunyi yang menimbulkan suasana menyenangkan) dan cacophony (bunyi yang menimbulkan suasana muram dan tidak menyenangkan ).
Efony, juga tampak pada ulangan bunyi u, a, i, e yang dipadu dengan b, d, k, t yang dominan dalam puisi tersebut yang menimbulkan suasana mistis dalam dialog antara manusia dengan Tuhan yang menyenangkan. misalnya, tampak pada puisi berikut:
Tuhanku
Berdekatankah kita
Sedang rasa teramat jauh
Tapi berjauhankah kita
Sedang rasa begini dekat
Seperti langit dan warna biru
Seperti sepi menyeru
Contoh cacophony, misalnya tampak pada kutipan berikut:
Katanya kau keturunan pisau
Katanya kau keturunan pisau yang terengah
Katanya kau keturunan pisau yang terengah dan mengucurkan darah
(Sapardi Djoko Damono, “Katanya Kau” Mata Pisau, 1982)
Puisi tersebut didominasi oleh ulangan bunyi k,p,t,s, u, au yang menimbulkan suasana muram dan tidak menyenangkan.
2.        Diksi
Diksi adalah pilihan kata atau frase dalam karya sastra. Setiap penyair akan memilih kata-kata yang tepat, sesuai dengan maksud yang ingin diungkapkan dan efek puitis yang ingin dicapai. Diksi sering kali juga menjadi ciri khas seorang penyair atau ciri khas angkatan atau budaya tertentu.
3.        Bahasa Kias
Bahasa kias atau figurative language merupakan penyimpangan dari pemakaian bahasa yang biasa, yang makna katanya atau rangkaian katanya digunakan dengan tujuan untuk mencapai efek tertentu. Bahasa kiasan memiliki beberapa jenis, yaitu:
a.        Personifikasi
Personifikasi adalah  kiasan yang menyamakan benda dengan manusia, benda–benda mati dapat berbuat, dan sebagainya seperti manusia. Contoh personifikasi antara lain adalah:
Mata pisau itu tak berkejap menatapmu
Kaun yang baru saja mengasahnya
Berfikir ia tajam untuk mengiris apel
Yang tersedia diatas meja
Sehabis makan malam
Ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu
Dalam kutipan tersebut pisau dipersonifikasikan mampu menatap dan membayangkan objek srperti halnya manusia. Personifikasi mempunyai efek untuk memperjelas imaji (gambaran angan) pembaca karena dengan menyamakan hal–hal nonmanusia dengan manusia, empati pembaca mudah ditimbulkan karena pembaca merasa akrab dengan hal-hal yang digambarkan atau disampaikan dalam puisi tersebut.
b.        Metafora
Metafora adalah kiasan yang menyatakan sesuatu sebagai hal yang sebandig dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama. Dalam sebuah metafora terdapat dua unsur, yaitu pembanding (vehiche)  dan yang dibandingkan (tenor). Dalam hubungannya dengan kedua unsur tersebut, maka terdapat dua jenis metafora, yaitu metafora eksplisit dan metafora implisit. Disebut metafora eksplisit apabila unsur pembanding dan yang dibandigkan disebutkan. Misalnya cinta adalah bahasa yang lekas jadi pudar. Cinta sebagai hal yang dibandingkan dan bahasa yang lekas jadi pudar sebagai pembandingnya. Disebut metafora implisit, apabila hanya memiliki unsur pembanding saja misalnya sambal tomat pada mata, untuk mengatakan mata yang merah, sebagai hal yang dibandingkan. Metafora tampak pada contoh puisi berikut:
Perjalanan Ini
Menyusuri langsai langsai kehidupan
Menyusuri lukademi luka
Menyusuri gigiran abad padang padang lengang
Menyusuri matahari
Dan laut abadi  dahsyat sunyi
Dalam puisi tersebut, perjalanan hidup manusia disamakan dengan menyusuri langsai kehidupan, luka, padang lenggang, matahari,  juga lautan yag sunyi.
c.         Metonimia
Metonimia diartikan sebagai pengertian yang satu dipergunakan sebagai pengertian yang lain yang berdekatan. Contoh metonimia adalah: akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh
Si tua merupakan metonimia dari Nuh.Contoh lain : tetapi si raksasa itu ayahmu sendiri… (“Benih”, Subagio Sastrowardoyo). Si Raksasa merupakan metonimia dari Rahwana. Metonimia berfungsi untuk memperjelas imaji. Melalui metonimia memperjelas keadaan hal hal yang ingin disampaikan, seperti tampak pada puisi   benih  gambaran tentang Rahwana semakin jelas karena dinyatakan sebagai si raksasa.
d.        Sinekdoks
Sinekdoks merupakan bentuk kiasan yang mirip dengan metonemia, yaitu pengertian yang satu dipergunakan untuk yang lain. Sinekdoks dibedakan menjadi dua jenis,yaitu totum pro parte dan part pro toto. Disebut totum pro. Dikatakan parte apabila keseluruhan dipergunakan untuk menyebut atau mewakili sebagian. Sinekdoks nampak digunakan oleh Emha Ainun Najib pada puisi “2”: Kami tak gentar pada apa pun di bawah tangan-Mu. Dalam baris tersebut tangan Mu merupakan part pro toto yang digunakan untuk menyebut keesaan yang dipegang Tuhan. Penggunaan sinekdoks ini membuat gambaran lebih kongkret. Sineksoks totum pro parte misalnya tampak pada: seluruh hari, seluruh waktu hanya mengucap nama-Mu, merupakan sinekdoks yang mewakili bahwa sebagian besar (belum tentu seluruh) hari dan waktu digunakan untuk menyebut nama Allah.
e.         Simile
Simile (perumpamaan) merupakan kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain yang menggunakan kata pembanding seperti bagai, seperti, laksana, semisal, seumpama, sepantun, atau kata–kata pembanding lainnya.
f.         Alegori
Alegori adalah cerita kiasan atau lukisan yang mengiaskan hal lain atau kejadian lain. Alegori pada dasarnya merupakan bentuk metafora yang diperpanjang. Perhatikan contoh alegori berikut:
Akulah si telaga
berlayarlah di atasnya
Berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga bunga padma
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya
sesampai di seberang sanaa tinggalkan begitu saja perahumu biar aku yang menjaganya
Puisi tersebut merupakan alegoris yang mengiaskan perjalanan hidup manusia seperti halnya berlayar di atas telaga, dan tubuh manusia dikiaskan sebagai perahu, yang akan ditinggalkan di dunia setelah manusia mati.
g.        Citraan
Citraan (imagery) merupakan gambaran-gambaran angan dalam puisi yang ditimbulkan oleh efek kata-kata. Ada bermacam-macam jenis citraan, sesuai dengan indra yang digunakannya, yaitu (1) citraan penglihatan (visual imagery), (2) citraan pendengaran (auditory imagery), (3)  citraan rabaan (thermal imagery), (4) citraan pencecapan (tactile imagery), (5)  citraan penciuman (olfactory imagery), (6) citraan gerak (kinesthetic imagery).
Contoh citraan penglihatan adalah:
Kubiarkan cahaya bintang memilikimu
Kubiarkan angin, yang pucat dan tak habis-habisnya
Gelisah, tiba-tiba menjelma isyarat, merebutmu
Pada puisi di atas tampak citraan penglihatan karena dalam bayangan angan pembaca seolah-olah melihat cahaya bintang, juga angin yang pucat.
Citraan pendengaran dapat dirasakan pada kutipan berikut:
Sejuk pun singgah
Memeluk nisan demi nisan
Gerimis sore memetik kecapi
Diamku membuat air laut tersibak
“Penyair, lewatlah bertongkat sehelai benang!
Mencari sarang angin”...
Pada puisi tersebut, dalam bayangan angan pembaca, seperti mendengar bunyi gerimis sebagaimana bunyi kecapi dan suara laut mengatakan ’’Penyair, lewatlah bertongkat sehelai benang! Mencari sarang angin.”
Contoh citraan rabaan adalah pada: Sejuk pun singgah, yang seolah-olah pembaca dapat merasakan kesejukan, seperti yang dirasakan nisan-nisan dalam puisi tersebut.
Citraan pencecapan dapat dirasakan pada:
ingin kuhalau hidup yang terasa pahit tembakau, berganti manisnya madu....
Citraan penciuman dapat dirasakan pada:
kini kuhirup bau senja, bau kandil-kandil dan pesta/ bau pembebasan,... bau yang sunyi... Citraan gerak dapat dirasakan pada:
Akulah si telaga
berlayarlah di atasnya
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan bunga-bunga padma
4.        Sarana Retorika
Sarana retorika atau rhetorical devices merupakan muslihat intelektual, yang dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:
a.        Hiperbola
Hiperbola adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu secara berlebih-lebihan. Contoh: dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan hati tak jatuh.... Kata seribu dalam pernyataan tersebut merupakan bentuk hiperbola.
b.        Ironi
Ironi merupakan pernyataan yang mengandung makna yang bertentangan dengan apa yang dinyatakannya. Contoh ironi adalah: sebenarnya aku benci rumah/ yang memberiku kerinduan untuk pulang/.... Di sini ada hal yang bertolak belakang, antara benci dan rindu terhadap rumah.
c.         Ambiguitas
Ambiguitas adalah pernyataan yang mengandung makna ganda ( ambigu). Contoh ambiguitas antara lain: Tuan, Tuhan bukan? Tunggu sebentar/ says sedang keluar. Dalam pernyataan tersebut terdapat ambiguitas karena dalam logika biasa, tidak akan terjadi si aku yang sedang ke luar, dapat menyapa Tuhan. Ambiguitas tersebut antara lain akan menyatakan seseorang yang tidak (belum) siap untuk menemui Tuhan, karena mungkin masih perlu membersihkan dirinya.
d.        Paradoks
Paradoks merupakan pernyataan yang memiliki makna yang bertentangan dengan apa yang dinyatakan. Contohnya antara lain: tidak setiap derita/ jadi luka/ tidak setiap sepi/ jadi duri.... Pada pernyataan tersebut terdapat paradoks, karena menyangkal kenyataan yang umum terjadi (setiap derita pada umumnya melukai, setiap sepi pada umumnya menyakitkan).
e.         Litotes
Litotes adalah penyataan yang menganggap sesuatu lebih kecil dari realitas yang ada. Litotes merupakan kebalikan dari hiperbola. Contohnya antara lain:
inilah lagu yang seder-hana/ untuk-Mu/
Denting-denting rawan/ jiwa yang me-layang-layang...
Pernyataan tersebut mengandung litotes karena merendahkkan ( mengganggap kecil) lagu (pujian) yang disampaikan kepada Tuhan.
f.         Elipsis
Elipsis merupakan pernyataan yang tidak diselesaikan, tetapi ditandai dengan .... (titik-titik). Contohnya: biarkan waktu berlalu, karena aku hanyalah... Pernyataan tersebut tidak dilanjutkan. Elipsis banyak dipakai pada beberapa puisi lama.
5.        Bentuk Visual
Bentuk visual merupakan salah satu unsur puisi yang paling mudah dikenal. Bentuk visual meliputi penggunaan tipografi dan susunan baris. Bentuk visual pada umumnya mensugesti (berhubungan) dengan makna puisi. Pada saat ini bentuk visual puisi bermacam-macam. Berikut merupakan contoh bentuk visual puisi:
a.        Bentuk Visual seperti Prosa
Saudara Kembarku
Kalau ada daham-daham terdengar di malam hari, aku tabu itu saudara kembarku. la menanti aku di pekarangan, karena aku melarang ia masuk. Pernah ia begitu rindu kepadaku dan tiba-tiba Nadir di tengah keluargaku dengan tamu-tamu yang sedang berpesta merayakan hari lahirku. Mereka semua ketakutan melihat ia duduk di dalam, karena muka saudara kembarku sangat buruk. Aku malu dan miris ia menunggu di luar kalau mau bertemu dengan aku. (Subagio Sastowardoyo)
b.        Bentuk Visual Konvensional
Hatiku Angin
hatiku angin
mengembara mengalir terhirupnafasmu hatiku angin menyebar
kosong tak terlihat mencemari nadi meracun darah hingga kaku bagai patung diriku
(Evi Idawati)
c.         Bentuk Visual Zigzag
6.        Makna Puisi
Makna merupakan wilayah isi sebuah puisi. Setiap puisi pasti mengandung makna, baik yang disampaikan secara langsung maupun secara tidak langsung, implisit atau simbolis. Makna tersebut pada umumnya berkaitan dengan pengalaman dan permasalahan yang dialami dalam kehidupan manusia. Ada yang berhubungan dengan persoalan cinta asmara, cinta sufistis, kemiskinan, pemujaan terhadap tanah air maupun tokoh-tokoh tertentu. Makna sebuah puisi, pada umumnya baru dapat dipahami setelah seorang pembaca membaca, memahami arti tiap kata dan kiasan yang dipakai dalam puisi, juga memperhatikan unsur-unsur puisi lain yang mendukung makna.

B.       Unsur-unsur Pembentuk Drama
Untuk memahami sebuah drama, maka seorang pembaca dan calon pengkaji drama, perlu juga mengenal dan memperhatikan unsur-unsur pembangun drama. Unsur-unsur tersebut diantaranya:
1.        Tema
Tema merupakan rumusan intisari cerita sebagai landasan idiil dalam menentukan arah tujuan cerita. Sementara itu, amanat pada dasarnya merupakan pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau penonton.
2.        Alur
Alur pada dasarnya merupakan deretan peristiwa dalam hubungan logik dan kronologik saling berkaitan dan yang diakibatkan atau dialami oleh para pelaku. Dalam teks drama, alur tidak diceritakan, tetapi akan divisualkan dalam panggung. Dengan demikian, bagian terpenting dari sebuah alur drama adalah dialog dan lakuan. Penyajian alur dalam drama diujudkan dalam urutan babak dan adegan. Babak adalah bagian terbesar dalam sebuah lakon. Pergantian babak dalam pentas drama ditandai dengan layar yang diturunkan atau ditutup, atau lampu panggung dimatikan sejenak. Setelah lampu dinyalakan kembali atau layar dibuka kembali dimulailah babak baru berikutnya. Pergantian babak biasanya menandai pergantian latar, baik latar tempat, ruang, maupun waktu. Adegan adalah bagian dari babak. Sebuah adegan hanya menggambarkan satu suasana. Pergantian adegan, tidak selalu disertai dengan pergantian latar. Satu babak dapat terdiri atas beberapa adegan. Struktur alur drama, yang oleh Aristoteles disebut sebagai alur dramatik (dramatic plot) dibagi menjadi empat bagian, yaitu: (1) protasis (permulaan), dijelaskan peran dan motif lakon, (2) epitasio (jalinan kejadian), dan (3) catastasis (klimaks), peristiwa mencapai titik kulminasi.
3.        Tokoh
Tokoh dalam drama mengacu pada watak (sifat-sifat pribadi seorang pelaku, sementara aktor atau pelaku mengacu pada peran yang bertindak atau berbicara dalam hubungannya dengan alur peristiwa. Cara mengemukakan watak di dalam drama lebih banyak bersifat tidak langsung, tetapi melalui dialog dan lakuan. Hal ini berbeda dengan yang terjadi dalam novel, watak tokoh cenderung disampaikan secara langsung. Dalam drama, watak pelaku dapat diketahui dari perbuatan dan tindakan yang mereka lakukan, dari reaksi mereka terhadap sesuatu situasi tertentu terutama situasisituasi yang kritis, dari sikap mereka menghadapi suatu situasi atau peristiwa atau watak tokoh lain. Di samping itu, watak juga terlihat dari kata-kata yang diucapkan. Dalam hal ini ada dua cara untuk mengungkapkan menunjukkan situasi sebuah RSJ. Untuk memahami Tatar, maka seorang pembaca naskah drama, juga para aktor dan pekerja teater yang akan mementaskannya harus memperhatikan keterangan tempat, waktu, dan suasana yang terdapat pada teks samping atau teks nondialog.
4.        Dialog (Cakapan)
Dalam drama ada dua macam cakapan, yaitu dialog dan monolog. Disebut dialog ketika ada dua orang atau lebih tokoh bercakap-cakap. Disebut monolog ketika seorang tokoh bercakap-cakap dengan dirinya sendiri. Selanjutnya, monolog dapat dibedakan lagi menjadi tiga macam, yaitu monolog yang membicarakan hal-hal yang sudah lampau, soliloqui yang membicarakan hal-hal yang akan datang, dan aside (sampingan) untuk menyebut percakapan seorang diri yang ditujukan kepada penonton (audience). Dialog dan monolog merupakan bagian penting dalam drama, karena hampir sebagian besar teks drama didominasi oleh dialog dan monolog. Itulah yang membedakan teks drama dengan novel dan puisi.
5.        Lakuan
Lakuan merupakan kerangka sebuah drama. Lakuan harus berhubungan dengan plot dan watak tokoh. Lakuan yang seperti itu disebut sebagai lakuan yang dramatik. Dalam sebuah drama, laku tidak selamanya badaniah, dengan gerak-gerik tubuh, tetapi dapat juga bersifat batiniah, atau laku batin, yaitu pergerakan yang terjadi dalam batin pelaku. Dalam hal ini gerakan ituhanya dihasilkan oleh dialog. Dialog akan mengggambarkan perubahan atau kekusutan emosi yang terungkap dalam sebagian dari percakapan pelakunya. Di sini situasi batin dapat pula terlihat dari gerak-gerik fisik seseorang, yang disebut sebagai dramatik action yang terbaik.
6.        Unsur Cerita
Unsur cerita meliputi plot, tokoh, dan latar; sedangkan sarana cerita meliputi judul, sudut pandang, gaya dan nada; serta tema. Sementara itu, Luxemburg membicarakan persoalan teks dan juru cerita, cerita, visi terhadap dunia rekaan, alur, dan para pelaku dalam uraian mengenai teks-teks naratif. Sejumlah teori tersebut selanjutnya menjadi dasar bagi pembahasan dan analisis teks naratif atau fiksi. Berikut ini diuraikan unsur-unsur pembangun fiksi seperti yang disebutkan oleh Stanton, terdiri atas tokoh, alur, latar, judul, sudut pandang, gaya dan nada, dan tema. Berikut ini diuraikan masing-masing unsur tersebut.
7.        Tokoh
Tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi. Tokoh dalam fiksi merupakan ciptaan pengarang, mes-kipun dapat juga merupakan gambaran dari orang-orang yang hidup di alam nyata. Oleh karena itu, dalam sebuah fiksi tokoh hendaknya dihadirkan secara alamiah. Dalam arti tokohtokoh itu memiliki “kehidupan” atau berciri “hidup”, atau memiliki derajat. Sama halnya dengan manusia yang ada dalam alam nyata, yang bersifat tiga dimensi, maka tokoh dalam fiksi pun hendaknya memiliki dimensi fisiologis, sosiologis, dam psikologis. Dimensi fisiologis meliputi usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, dan ciri-ciri tokoh. Karakter seseorang juga dapat dipahami melalui apa yang dipikirkannya. ... Jika Namnya tidak memiliki keinginan dengan usaha dan kerja keras untuk mengLibahnya, Namnya akan tetap seperti ini. Jalan di tempat. seperti suku terasing yang terpisah dari peradaban. Tidak pemah maju, selangkah pun. Itulah Namnya.” (Namanya berpikir, berarti aku tetap memakai caveat sementara orang lain telah naik pesawat). la pun berontak dan menangkis penilaian Ustaz Omar. Namnya berpikir, bukankah setiap berangkat dan pulang dari pesantren menuju kampung halaman di Lombok sana, ia selalu naik pesawat? Bahkan ayahnya, sang konglomerat Arab itu, Mohamed Noufal al Katiri juga memiliki pesawat pribadi?...
Dari kutipan tersebut  tampak  bahwa melalui pikirannya, tokoh Namnya memiliki karakter sebagai orang yang lebih mengandalkan kekayaan (materi) orang tua, dari pada kemampuan intelektual dan moralnya.
Stream of conscioussness atau arus kesadaran merupakan cara penceritaan untuk menangkap dan melukiskan warna-warni perkembangan karakter, yakni ketika persepsi bercampur dengan kesadaran atau setengah kesadaran, dengan kenangan dan perasaan. Teknik ini mencakup ragam cakapan batin yang berupa monolog dan solilokui. Monolog adalah cakapan batin yang menjelaskan kejadian-kejadian yang sudah lampau, peristiwa-peristiwa, dan perasaan-perasaan yang sudah terjadi, sementara solilokui adalah cakapan batin yang mengisyaratkan hal-hal, tindakan-tindakan, kejadian-kejadian, perasaan, dan pemikiran yang masih akan terjadi. Berikut ini merupakan contoh penggunaan teknik Stream of conscioussness atau arus kesadaran, yang menggambarkan karakter tokoh. Hampir sama seperti manusia nyata, tokoh dalam fiksi pun memiliki watak. Ada dua cara menggambarkan watak tokoh, yaitu secara langsung dan tak langsung. Selanjutnya, secara tak langsung watak tokoh digambarkan melalui beberapa cara yaitu: (1) penamaan tokoh, (2)  cakapan, (3) penggambaran pikiran tokoh,  (4) arus kesadaran, (5)  pelukisan perasaan tokoh,  (6) perbuatan tokoh, (7) sikap tokoh, (8) pandangan seorang atau banyak tokoh terhadap tokoh tertentu, (9) pelukisan fisik, dan (10) pelukisan latar. Dalam teknik naming atau pemberian nama tokoh, nama tokoh tertentu mengisyaratkan karakter sang tokoh. Tokoh Lantip dalam Para Priyayi, misalnya mengisyaratkan karakternya yang cerdas dan cekatan. Tokoh Sumarah dalam Sri Sumarah, sesuai dengan karakternya sebagai wanita Jawa yang memiliki kepasrahan dalam menjalani nasibnya. Apa yang diucapkan tokoh, baik dalam bentuk dialog maupun monolog, seringkali menunjukkan karakternya sehingga cakapan antartokoh dapat menunjukkan bagaimana karakter tokoh tersebut.
Contoh 1:
“Tak bisa disangkal,” kataku, “kecantikan adalah anugrah. Namun, kecerdasan dan kesalehan, ia lebih dari sekedar anugrah.” “Kau ingin mengatakan bahwa kecerdasan dan kesalehan adalah di atas kecantikan?” tanya Nadia.
“Persis,” kataku, “kesalehan bisa membentuk kecantikan. Tapi sebaliknya, kecantikan tidak mampu menghadirkan kesalehan. Alih-alih, ia malah menjauhkan kesalehan. Demikian halnya kecerdasan.” “Kau setuju, Zakky?” tanya Nadia. Zakky terkesiap. Sebenarnya ia sedang asyik menikmati suara Nadia yang berdecak-decak...
Dari kutipan tersebut tampak karakter tokoh (:Jora) yang menjunjung tinggi kecerdasan dan kesalehan.
Contoh 2:
Lalu dia bercerita mengenai kehancuran perkawinannya dengan nada mengangis. Saya diam, tidak sampai hati memberi alasan. Tapi terusterang saya ingin merampok istrinya. Saya ingin berkata kepada Wayne, “Hai, pengarang Wayne Danton, dengarlah apa yang ingin saya katakan. Saya ingin pada suatu ketika melihat istri sampean memakai dandanan India. Kemudian saya ingin pada suatu hari melihat istri sampean memakai dandanan Parsi seperti dalam cerita seribu satu malam...
Memang setiap kali berbaring di padang rumput, Olenka mengenakan pakaian renang. Tapi setiap ada orang lewat, termasuk saya, dia menuntup tubuhnya dengan selimut. Tindakannya menunjukkan seolah dia menganggap orang lain seperti lalat yang ingin bertengger di tubuhnya. Karena itu saya sering memberi kuasa kepada otak saya untuk membayangkan Olenka sedang mengenakan pakaian renang. (Budi Darma, Olenka, 1990)
Dari kutipan tersebut tampak penggunaan teknik aras kesadaran, dalam bentuk monolog dan imajinasi yang membaur antara kesadaran atau setengah kesadaran menunjukkan karakter tokoh Fanton yang memiliki ingin selalu superior dan menganggap orang lain sebagai objek yang dapat ditundukkan dan diatur sesuai dengan keinginannya.
8.        Alur (Plot)
Alur atau plot adalah rangkaian peristiwa yang disusun berdasarkan hubungan kausalitas. Secara garis besar alur dibagi dalam tiga bagian, yaitu awal, tengah, dan akhir. Secara sederhana, alur dapat digambarkan sebagai berikut:
Bagian awal berisi eksposisi yang mengandung instabilitas yang dan konfiks. Bagian tengah mengandung klimaks yang merupakan puncak konflik. Bagian akhir mengandung denoument (penyelesaian atau pemecahan masalah).
Plot memiliki sejumlah kaidah, yaitu plausibilitas (kema-sukakalan), surprise (kejutan), suspense, unity (keutuhan). Rangkaian peristiwa disusun secara masuk akal, meskipun masuk akal di sini tetap dalam kerangka fiksi. Suatu cerita dikatakan masuk akal apabila cerita itu memiliki kebenaran, yakni benar bagi diri cerita itu sendiri.
Dalam cerpen “Mereka Bilang, Saya Monyet” karya Djenar Maesa Ayu, gambaran tokoh manusia laki-laki berekor anjing, babi atau kerbau, berbulu serigala, landak atau harimau merupakan hal yang masuk akal, karena hal itu menunjuk pada manusia yang secara fisik manusia, tetapi memiliki karakter seperti binatang.
Sepanjang hidup saya melihat manusia berkaki empat. Berekor anjing, babi atau kerbau. Berbulu serigala, landak atau harimau. Dan berkepala ular, banteng atau keledai. Namun tetap saja mereka bukan binatang. Cara mereka menyantap hidangan di depan meja makan sangat benar. Cara mereka berbicara selalu menggunakan bahasa dan sikap yang sopan... ( Djenar Maesa Ayu, “Mereka Bilang, Saya Monyet” )
Dengan adanya surprise (kejutan), maka rangkaian peristiwa menjadi menarik. Di samping itu, kejutan juga ber-fungsi untuk memperlambat atau mempercepat klimaks.
Plot dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Sesuai dengan penyusunan peristiwa atau bagian-bagiannya, dikenal plot kronologis atau plot progresif, dan plot regresif atau flash back  atau sorot balik. Dalam plot progresif peristiwa disusun: awal-tengah-akhir, sementara pada plot regresif alur disusun sebaliknya, misalnya: tengah-awal-akhir, atau akhirawal-tengah.
Dilihat dari akhir cerita dikenal plot terbuka dan plot tertutup. Plot disebut tertutup ketika sebuah cerita memiliki akhir (penyelesaian) yang jelas. Misalnya novel Siiti Nurbaya atau Salah Asuhan, dengan akhir cerita yang jelas, yaitu nasib tokoh utamanya yang berakhir tragis. Sitti Nurbaya gagal menikah dengan Samsul Bachri, sementara Hanafi bunuh diri karena ditolak kembali ke dalam keluarga besarnya.
Dilihat dari kuantitasnya, terdapat plot tunggal dan plot jamak. Plot disebut tunggal ketika rangkaian peristiwa hanya mengandung satu peristiwa primer, sementara alur dianggap jamak ketika mengandung berbagai beristiwa primer dan peristiwa lain (minor).
Dilihat dari kualitasnya, dikenal plot rapat dan plot longgar. Disebut plot rapat apabila plot utama cerita tidak memiliki celah yang memungkinkan yang memungkinkan untuk disisipi plot lain. Sebaliknya, sebuah plot dianggap longgar apabila ia memiliki kemungkinan adanya penyisipan plot lain. Pada beberapa novel, misalnya Larung terdapat sisipan cerita yang merupakan ringkasan dari sebuah novel Perancis, Histoire d’ 0 karya Paulin Reage. Cerita tersebut muncul dalam ingatan Yasmin ketika dia mencoba memahami gejala masokisme yang banyak dinikmati kaum perempuan meskipun berada dalam dominasi patriarkhi.
9.        Latar (setting)
Dalam fiksi, latar dibedakan menjadi tiga macam, yaitu latar tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat berkaitan dengan masalah geografis. Di lokasi mana peristiwa terjadi, di desa apa, kota apa, dan sebagainya. Latar waktu berkaitan dengan masalah waktu, hari, jam, maupun historis. Latar sosial berkaitan dengan kehidupan masyarakat.
Latar memiliki fungsi untuk memberi konteks cerita. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sebuah cerita terjadi dan dialami oleh tokoh di suatu tempat tertentu, pada suatu masa, dan lingkungan masyarakat tertentu. Novel Jalan Menikung, misalnya berlatar tempat, antara lain Jakarta, Amerika, dan Padang. Berlatar waktu masa Orde Baru, lebih kurang 1985-an, karena ada bagian teks yang menjelaskan Eko, anak Harimurti, yang pada masa G30/ PKI tahun 1965-an, pada saat itu telah berumur 20-an. Latar sosial novel tersebut antara lain adalah keluarga Jawa, juga kondisi sosial ma-syarakat menengah atas di Jakarta.
10.    Judul
Judul merupakan hal pertama yang paling mudah dikenal oleh pembaca karena sampai saat ini tidak ada karya yang tanpa judul. Judul sering kali mengacu pada tokoh, latar, tema, maupun kombinasi dari beberapa unsur tersebut. Judul Sitti Nurbaya, Saman, Larung, misalnya mengacu pada tokoh. Jalan Menikung, Belenggu, dan Ziarah, mengacu pada tema. Senja di Jakarta mengacu pada latar. Sebuah judul biasanya dipilih oleh pengarang dengan alasan kemenarikan.
11.    Sudut Pandang (point of view)
Sudut pandang memasalahkan siapa yang bercerita. Sudut pandang dibedakan menjadi sudut pandang orang pertama dan orang ketiga. Masing-masing sudut pandang tersebut kemudian dibedakan lagi menjadi:
a.         sudut pandang first person central atau akuan sertaan;
b.        sudut pandang first person peripheral atau akuan taksertaan;
c.         sudut pandang third person omniscient atau diaan mahatahu;
d.        sudut pandang third person limited atau diaan terbatas.

Pada sudut pandang first person central atau akuan sertaan, cerita disampaikan oleh tokoh utama, karena cerita dilihat dari sudut pandangnya, maka dia memakai kata ganti aku. Sementara itu, penggunaan sudut pandang akuan taksertaan terjadi ketika pencerita adalah tokoh pembantu yang hanya muncul di awal dan akhir cerita. Penggunaan sudut pandang akuan sertaan, misalnya tampak pada novel Olenka.
Pertemuan saya dengan seseorang, yang kemudian saya ketahui bemama Olenka, tadi secara kebetulan ketika pada suatu hari saya naik lift ke tingkat limabelas....
Penggunaan sudut pandang akuan taksertaan, misalnya tampak pada novel Jala, karya Titis Basino PI. Novel tersebut bertokoh utama Pamuji, tetapi cerita disampaikan oleh istrinya, Maryati.
Pada sudut pandang diaan maha tahu, pencerita berada di luar cerita dan menjadi pengamat yang mengetahui banyak hal tentang tokoh-tokoh lain. Hal ini berbeda dengan diaan terbatas, karena hanya tahu dan menceritakan tokoh yang menjadi tumpuan cerita saja. Penggunaan sudut pandang ini amat jarang ditemui karena dengan detil tokoh yang terbatas, cerita menjadi tidak hidup. Penggunaan sudut pandang diaan maha tahu, misalnya tampak pada cerpen “Lintah” karya Djenar Maesa Ayu.
Tahu saya memelihara Lintah. Lintah itu dibuatnya sebuah kandang yang mirip seperti rumah boneka berlantai dua, lengkap dengan kamar tidur...
12.    Gaya dan Nada
Gaya (gaya bahasa) merupakan cara pengungkapan seorang yang khas bagi seorang pengarang. Gaya meliputi penggunaan diksi (pilihan kata), imajeri (citraan), dan sintaksis (pilihan pola kalimat). Nada berhubungan dengan pilihan gaya untuk mengekspresikan sikap tertentu. Contoh:
Sepanjang hidup saya melihat manusia berkaki empat. Berekor anjing, babi atau kerbau. Berbulu serigala, landak atau harimau. Dan berkepala ular, banteng atau keledai. Namur tetap saja mereka bukan binatang. Cara mereka menyantap hidangan di meja makan sangat benar. Cara mereka berbicara selalu menggunakan bahasa dan sikap yang sopan. Dan mereka membaca buku-buku bermutu. Mereka menulis catatan-catatan penting. Mereka bergaun indah dan berdasi. Bahkan konon mereka mempunyai hati.
( Djenar Maesa Ayu, “Mereka Bilang, Saya Monyet,  2003)
Pada kutipan tersebut pengarang menggambarkan sosok manusia yang memiliki kepala dan ekor binatang. Pilihan tersebut untuk mengekspresikan sikap dan nada pencerita terhadap tokoh-tokoh yang diceritakan yang dimetaforkan sebagai manusia yang memiliki karakter serupa binatang.
13.    Tema
Tema merupakan makna cerita. Tema pada dasarnya merupakan sejenis komentar terhadap subjek atau pokok masalah, baik secara eksplisit maupun implisit. Dalam tema terkandung sikap pengarang terhadap subjek atau pokok cerita. Tema memiliki fungsi untuk menyatukan unsur-unsur lainnya. Di samping itu, juga berfungsi untuk melayani visi atau responsi pengarang terhadap pengalaman dan hubungan totalnya dengan jagat raya.
Tema dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu tema jasmaniah, yang berkaitan dengan keadaan jiwa seorang manusia. Tema organik ( moral) yang berhubungan dengan moral manusia. Tema sosial yang berhubungan dengan masalah politik, pendidikan, dan propaganda. Tema egoik, berhubungan dengan reaksi-reaksi pribadi yang pada umumnya menentang pengaruh sosial. Tema ketuhanan yang berhubungan dengan kondisi dan situasi manusia sebagai makhluk sosial.
Tema ditafsirkan melalui cara-cara berikut:
a.         Penafsir hendaknya mempertimbangkan tiap detil cerita yang dikedepankan.
b.        Penafsiran tema hendaknya tidak bertentangan dengan tiap detil cerita.
c.         Penafsiran tema hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tidak langsung.
d.        Penafsiran tema haruslah mendasarkan pada bukti yang secara langsung ada atau yang diisyaratkan dalam cerita.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar